Dewan Redaksi Media Group Jaka Budi Santosa. MI/Ebet
Dewan Redaksi Media Group Jaka Budi Santosa. MI/Ebet (Jaka Budi Santosa)

Jaka Budi Santosa

Jaka Budi Santosa

Enaknya Pejabat Kita

Jaka Budi Santosa • 11 Maret 2022 05:35
Enak benar jadi pejabat di negeri ini. Sudah gajinya tinggi, tunjangan dan fasilitas berlimpah. Kalau tak mampu mengatasi persoalan, tinggal menyalahkan rakyat.
 
Itulah hak-hak istimewa yang seolah melekat dalam pejabat. Memang, tidak semua pejabat melakukan itu. Akan tetapi, beberapa contoh terkini memperlihatkan betapa pejabat mau enaknya sendiri. Tak mau susah, tak mau memeras otak banting tulang untuk memenuhi tugas dan kewajibannya. Tak mau kaki menjadi kepala, kepala jadi kaki, untuk melunasi sumpahnya sebagai abdi rakyat.
 
Pejabat idealnya punya kelebihan dari yang lain. Dia mesti pintar di atas rata-rata. Harus pula punya integritas dan kredibilitas istimewa.
 
Pejabat eloknya juga punya kapasitas sebagai problem solver. Bukan pencari masalah, apalagi pelempar masalah. Itulah kenapa pejabat berhak atas pendapatan yang tinggi. Dia dibayar mahal oleh rakyat. Karena itu, geregetan betul rasanya ketika ada pejabat yang tak mampu menjadi pemecah masalah di saat rakyat menghadapi masalah. Masalah minyak goreng, misalnya. Masalah ini sudah berlangsung sejak akhir 2021. Sudah sekitar empat bulan.
 
Awalnya harga minyak goreng melambung tinggi. Tinggi sekali. Lalu para pejabat di pemerintah mematok harga eceren tertinggi. Niatnya bagus agar rakyat tak dipermainkan produsen dan pedagang. Akan tetapi, hasilnya, minyak goreng langka. Rakyat susah mendapatkannya. Harga murah, tetapi barang tidak ada, apalah gunanya.
 
Keinginan rakyat simpel, yakni barang gampang didapat, harga terjangkau. Namun, keinginan yang sederhana itu tetap saja berujung rumit. Pemerintah katanya sudah menempuh banyak langkah, tapi minyak goreng di lapangan tetap gaib. Lalu, muncullah pejabat yang menjadi pelempar kesalahan.
 
Dia adalah pejabat di Kementerian Perdagangan, kementerian yang bertugas mengurusi minyak goreng. Irjen Kemendag Didid Noordiatmoko awalnya mengungkapkan, produksi minyak goreng sudah mendekati kebutuhan dalam negeri. Seharusnya, kata dia, kelangkaan bisa segera teratasi.
 
Didid menekankan, pemerintah secara bertahap menyelesaikan persoalan. Namun, muncul persoalan baru dampak dari kenaikan harga dan kelangkaan barang, yakni panic buying. Kata dia, ketika mendapat kesempatan, rakyat membeli melebihi kebutuhan. Hasil riset menyebutkan kebutuhan minyak goreng per orang hanya 0,8-1 liter per bulan. Dia melontarkan indikasi, banyak rumah tangga menstok minyak goreng.
 
Bagi pejabat, kesengkarutan minyak goreng yang tak kunjung terurai karena salah rakyat. Coba kalau rakyat tak menimbun minyak goreng di rumah, pasti urusan sudah beres. Begitulah pikirannya. Gampang, sangat gampang. Padahal, jangankan menimbun, alih-alih menstok di dapur, untuk mendapatkan barang seliter saja rakyat kebanyakan sulit.
 
Menyalahkan orang lain ketika tak berdaya menuntaskan masalah jelas bukan kriteria pejabat yang baik. Apalagi yang disalahkan rakyat. Rakyat bukan tempatnya salah. Bukan kali ini saja rakyat jadi keranjang kesalahan.
 
Dulu, saat menjabat Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani mendapat sorotan miring. Saat menanggapi permintaan Gubernur Made Mangku Pastika agar alokasi raskin daerah Bali dinaikkan, dia justru berkelakar menjawab, "Jangan banyak-banyak makanlah, diet sedikit tidak apa-apa".
 
Ada pula seorang menteri yang menyalahkan petani ketika harga cabai melambung. Kata dia, tingginya harga cabai menjadi siklus tahunan karena petani sangat responsif terhadap situasi di lapangan. Saat harga naik, petani ramai-ramai menanam cabai. Ketika harga turun, mereka ogah menanamnya.
 
Ketika pandemi covid-19 menggila pun, beberapa kali pejabat menyalahkan rakyat. Tatkala kasus melonjak, ada saja yang bilang karena warga tidak patuh pada protokol kesehatan. Di lain waktu, ada yang menyebut karena rakyat nekat mudik, ngotot liburan, maka penularan kembali luas.
 
Rakyat bisa keliru. Tetapi tidaklah tepat menempatkan mereka sebagai muara kesalahan. Logikanya sebaiknya kita balik, kenapa rakyat tak patuh? Karena pejabat gagal membuat mereka patuh. Padahal pemerintah oleh negara diberi segala perangkat untuk memastikan rakyat patuh.
 
Menyalahkan rakyat sama saja tak pandai menari lalu bilang lantai terjungkat. Ibarat buruk wajah cermin dibelah. Ia berbahaya. Bukankah mereka yang selalu menutup-nutupi kesalahan dan menyalahkan pihak lain cenderung terus-menerus berbuat kesalahan?
 
Akan tetapi, itulah enaknya menjadi pejabat di negeri ini. Beda dengan di negeri wakanda. Di sana, jika gagal, jika tak mampu mengatasi masalah rakyat, pejabat tak menyalahkan rakyat. Ia yang bertanggung jawab, bahkan tak jarang yang memilih mundur menanggalkan segala kenyamanan. Itulah kesatria.
 
Pramoedya Ananta Toer pernah bilang, apa yang diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apa pun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji? Kita, setidaknya saya, pun sulit berharap kepada pejabat-pejabat model demikian.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar minyak goreng sembako protokol kesehatan Pejabat Negara

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif