Aprilia Manganang (Instagram)
Aprilia Manganang (Instagram) (Usman Kansong)

Usman Kansong

Ketua Dewan Redaksi Media Group

Fenomena Aprilia Manganang

Usman Kansong • 12 Maret 2021 12:33
CHEVALIER d’Eon ialah diplomat, mata-mata, dan tentara Prancis. Ia lahir 5 Okober 1728 dan meninggal 21 Mei 1810. Ia hidup sebagai laki-laki sejak 1762 sampai 1777 dan sebagai perempuan dari 1786 hingga 1810. Dokter yang memeriksa tubuh d’Eon setelah kematiannya menemukan organ laki-laki, tetapi juga karakter feminin.
 
Saya menemukan penggalan kisah Chevalier d’Eon di buku Is Gender Fluid? karangan Sally Hines. Saya kembali membolakbalik buku tersebut setelah membaca berita tentang Aprilia Manganang.
 
Aprilia Manganang, atlet voli dan prajurit TNI-AD, terlahir pada 1992 sebagai perempuan, meski tampak luar tubuhnya sangat laki-laki. Ia tergabung dalam tim voli perempuan, meski posturnya laki-laki banget. Terlahir sebagai perempuan memaksanya berperilaku seperti perempuan.
 
Namun, sejak 3 Februari 2021, Aprilia hidup sebagai laki-laki. Para dokter yang memeriksanya memastikan Aprilia laki-laki. Aprilia memiliki hipospadia, yakni uretra atau lubang kencing terletak ‘tersembunyi’ di bawah penis. Pada Februari 2020, Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan perubahan status Putri Natasiya dari perempuan menjadi laki-laki. Kuasa hukumnya mengatakan kliennya tidak mengubah kelaminnya melainkan menyempurnakan jenis kelaminnya.
 
Dorce Gamalama mengubah dirinya dari laki-laki menjadi perempuan. Dorce melakukan operasi ganti kelamin. Sejumlah pesohor lain mengubah status dan jenis kelamin mereka dari laki-laki menjadi perempuan.
 
Fenomena ‘perubahan’ gender semacam itu kiranya yang membuat Sally Hines mengatakan gender itu cair (gender fluidity). “Dunia tempat kita hidup makin jauh dari netral gender, tetapi bergerak menuju gender fluidity di masa-masa mendatang.”
 
Konsep gender fluidity bukan berarti orang bisa semena-mena mengubah gendernya. Orang harus memiliki ‘bakat’. Ibarat belajar musik, orang yang tak punya bakat musik tidak mungkin menjadi pemusik andal, tetapi mungkin menjadi pemusik abal-abal, pemusik kaleng-kaleng. “Ide ketidakstabilan gender dimaksudkan gender tidak ditentukan semata secara biologis, tetapi bergeser sesuai dengan preferensi sosial, kultural, dan individual,” kata Sally Hines.
 
Saya, ketika mengikuti 2017 Senior Journalist Seminar, program Fellowship East-West Center, Honolulu, Amerika Serikat, berdiskusi dengan seorang penyair dan dosen di Minnesota, Amerika Serikat. Penyair dan dosen tersebut fisik dan biologisnya perempuan, tetapi karakter individual, sosial, dan kulturalnya laki-laki. Sang dosen penyair kiranya mengidentifikasi gendernya bukan secara biologis, melainkan berdasarkan preferensi individual, sosial, dan kulturalnya. Dia bisa melakukan itu karena ada bakat maskulinitas dalam dirinya.
 
Cairnya gender bukan cuma dilihat dari fenomena perubahan status dan jenis kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya, melainkan juga dari fenomena variasi gender.
 
Kita selama ini memahami gender dalam konsep biner, binary, bahwa gender terdiri dari hanya laki-laki dan perempuan. Kita menolak gender selain laki-laki dan perempuan. Kita memandang gender di luar laki-laki dan perempuan sebagai penyimpangan, penyakit, kelainan. Kita pun sering mendiskriminasi mereka yang bergender di luar laki-laki dan perempuan.
 
Agama-agama juga cenderung mengonstruksi gender dalam konsep biner. Agama mengatakan Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, dan pasangan itu haruslah laki-laki dan perempuan.
 
Menggunakan konsep biner untuk menjelaskan gender sesungguhnya mereduksi gender sebatas jenis kelamin. Jenis kelamin lebih konstruksi biologis, sedangkan gender konstruksi sosial. Konsep gender melampaui (beyond) konsep jenis kelamin.
 
Fakta sosial menunjukkan adanya variasi gender. Selain laki-laki dan perempuan, terdapat pula lesbian, gay, biseksual, transgender, interseksual, queer, agender. Gender bersifat nonbiner, non-binary. Gender-gender selain laki-laki dan perempuan bukanlah penyimpangan, kelainan, penyakit seksual atau kejiwaan. Mereka variasi orientasi seksual.
 
Ilmu psikiatri menggolongkan LGBT bukan sebagai penyakit kejiwaan. Agamawan sejak lama mengupayakan tafsir lebih ramah kepada LGBT. KH Hussein Muhammad, Musdah Mulia, Pendeta Sugiyanto, dan Pendeta Stephen Suleeman merupakan beberapa agamawan yang menyerukan kesetaraan gender.
 
Fenomena Aprilia Manganang semestinya menjadikan kita lebih memahami konsep gender dan memperlakukan orang-orang dengan identitas gender mereka secara setara sebagai manusia.
 
*Usman Kansong adalah Ketua Dewan Redaksi Media Group

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar tni voli kesetaraan gender Podium transgender

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif