AGAMA tersusun atas akhlak, akidah, dan ibadah. Namun, kiranya banyak di antara kita yang mereduksi agama menjadi akidah dan ibadah. Sekurang-kurangnya, mereka lebih mementingkan akidah dan ibadah.
Mementingkan akidah bisa memicu pertentangan. Kita seringkali mempertentangkan akidah agama kita dengan akidah agama lain. Pertentangan akidah bisa juga terjadi dalam satu agama, misalnya antara Ahmadiyah dan Islam arus utama atau antara Protestan dan Saksi Yehovah. Mereka saling mengafirkan. Kafir-mengafirkan biasanya berurusan dengan akidah.
Berlebihan dalam memegang teguh akidahnya sendiri bahkan bisa memicu radikalisme dan terorisme. Islamic State, misalnya, mengidap paham taqfiri, yakni paham yang mengafirkan sesama muslim dan penganut agama lain. Mereka menebar teror mematikan terhadap siapa pun yang mereka anggap kafir atau murtad.
Pun mengedepankan ibadah bisa memantik pertengkaran. Dalam Islam terjadi pertengkaran antara mereka yang salat subuh memakai qunut dan yang tidak.
Agama tersusun setidaknya atas akhlak dan fikih. Akan tetapi, kiranya tak sedikit yang mengidentikkan agama dengan fikih semata. Paling tidak mereka lebih mengedepankan fikih ketimbang akhlak.
Fikih juga seringkali menyebabkan perbedaan bahkan permusuhan. Fikih Muhammadiyah berbeda dengan fikih Nahdlatul Ulama. Syiah bermusuhan dengan Sunni gara-gara perkara fikih.
Para nabi sesungguhnya diturunkan ke muka bumi pertama-tama untuk mengubah akhlak. "Aku tidak diutus kecuali untuk memperbaiki akhlak," kata Nabi Muhammad. Ajaran atau perintah terkait akidah dan ibadah datang kemudian.
Kita-kiranya bersepakat perihal akhlak. Semua agama, peradaban, kebudayaan, bersepakat bertengkar itu buruk. Celaka bila pertengkaran itu disebabkan perbedaan akidah dan tata cara ibadah. Dibutuhkan akhlak mendamaikan pertengkaran itu.
Pula, semua agama, peradaban, kebudayaan, bersepakat korupsi itu buruk. Ketua KPK Firli Bahuri merumuskan korupsi sebagai kekuasaan plus kesempatan minus integritas. Integritas terkait erat dengan akhlak. Supaya korupsi berkurang, perlu pendidikan akhlak.
Celakanya, sejumlah koruptor kita kenal sebagai ahli ibadah. Ada koruptor bertitel haji bahkan berkali-kali berhaji sehingga bila boleh, gelar ‘H’ dipasang berderet di depan namanya. Sejumlah koruptor berasal dari partai politik berideologikan agama yang semestinya urusan akidah mereka sudah beres. Mereka kiranya tidak berakhlak meski rajin beribadah dan berakidah.
Itulah sebabnya banyak ulama dan cendekiawan mengutamakan akhlak. Saya beberapa tahun lalu membaca artikel Haidar Bagir di Majalah Tempo yang mengajak kita lebih mengedepankan akhlak ketimbang akidah dan ibadah. Saya sedang membaca buku yang ditulis Jalaluddin Rachmat berjudul Dahulukan Akhlak di Atas Fikih.
Mendahulukan akhlak bukan berarti mengabaikan atau meninggalkan akidah, ibadah, dan fikih. Tidaklah berakhlak mereka yang mendahulukan akhlak, tetapi melupakan akidah dan ibadah. Tidak sempurna beragama mereka yang mengutamakan akhlak, tapi meninggalkan ibadah dan akidah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diberitakan tengah merancang Peta Jalan Pendidikan 2020-2035. Kemendikbud merumuskan Peta Jalan Pendidikan itu sebagai ‘Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila’.
Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 itu menjadikan akhlak mulia, akhlakul karimah, sebagai salah satu tujuan pendidikan. Itu artinya peta jalan pendidikan kita mengandung visi kenabian.
Akan tetapi, organisasi keagamaan dan partai politik berbasis agama mempersoalkan Peta Jalan Pendidikan 2020-2035. Mereka mempersoalkannya karena tidak ada kata agama dalam rumusan atau konsep besar peta jalan pendidikan itu.
Mereka kiranya ingin ada kata agama secara formal. Padahal, secara substansial, ada agama di dalam peta jalan itu, yakni akhlak mulia. Sekali lagi, substansi diutusnya para nabi pembawa agama-agama ialah memperbaiki akhlak.
*Usman Kansong adalah Ketua Dewan Redaksi Media Group
Cek Berita dan Artikel yang lain di Usman Kansong
Ketua Dewan Redaksi Media Group