Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group. MI/Ebet
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group. MI/Ebet (Gaudensius Suhardi)

Gaudensius Suhardi

Anggota Dewan Redaksi Media Group

Pamer Agitasi

Gaudensius Suhardi • 16 Januari 2023 07:04
PARTAI politik mestinya menjadi tempat persemaian calon presiden. Ia menjadi sekolah bagi calon presiden untuk belajar cara memerintah, cara memimpin, dan cara melayani orang.
 
Agar bisa menjadi tempat persemaian yang subur, pesan Sutan Sjahrir mesti diingat. Kata Sjahrir, partai politik hendaknya menjadi partai kader, bukan partai massa.
 
Anggota partai kader mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik untuk memikul tanggung jawab. Adapun partai massa menyerahkan seluruh keputusan politik ke tangan pemimpin politik, massa rakyat tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin.
 
Andai parameter Sjahrir dipakai sebagai ukuran menilai partai yang ada saat ini, jujur dikatakan bahwa hampir tidak ada partai kader. Sebab, calon presiden menjadi hak prerogatif ketua umum, bukan ditentukan oleh anggota partai apalagi rakyat. Partai bukan lagi menjadi tempat persemaian calon pemimpin bangsa, tapi semata-mata dijadikan kendaraan yang melewati tol untuk meraih jabatan-jabatan politik.
 
Menjadikan partai hanya sebagai kendaraan politik berpangkal dari cara berpikir yang salah. Disebut salah, meminjam istilah Martin L Gross, karena politik menggantikan filsafat. Ketika filsafat tergantikan oleh politik, lahirlah generasi-generasi yang instan dan politik pun tidak memiliki spirit kebaikan.
 
Tanggung jawab mengembalikan politik dengan spirit kebaikan ada di pundak ketua umum. Gagasan Mohammad Hatta pada 91 tahun silam hendaknya konsisten dijalankan.
 
Bung Hatta menuliskan gagasannya di harian Daulat Ra’jat pada 20 September 1932. Ia menulis, partai tak seharusnya bergantung pada agitasi, tapi pada pencarian kader yang kuat. Agitasi dapat membangkitkan kegembiraan setiap orang, tetapi tidak membentuk pikiran orang.
 
Amat disayangkan bahwa gagasan cemerlang Sjahrir maupun Bung Hatta perihal kaderisasi tidak dijadikan sebagai kewajiban partai politik di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Partai cenderung memamerkan agitasi.
 
Partai politik memang tidak memiliki kewajiban untuk melakukan kaderisasi sehingga watak partai massa mengambang pada masa Orde Baru dilestarikan menjadi partai mengambang alias partai yang tidak berbasiskan kader.
 
Partai mengambang itulah yang menjadi pemicu adanya fenomena politisi kutu loncat yang dengan mudahnya berpindah dari partai satu ke partai lainnya. Kader kutu loncat sering menghujat partai asal yang sebelumnya ia bela sampai mulut berbusa.
 
Tanpa kegiatan kaderisasi berkala dengan sistem kaderisasi yang baku, parpol pada akhirnya tak lebih dari ormas berbaju partai politik. Istilah ormas berbaju politik muncul dalam buku Panduan Rekrutmen & Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia. Buku terbitan 2016 hasil kerja sama LIPI dan KPK itu juga menyoroti soal kaderisasi dan pencalonan presiden.
 
Apakah partai politik harus mencalonkan kadernya sendiri untuk menjadi presiden? Konstitusi menyebutkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Di sisi lain, Undang-Undang Pemilu mensyaratkan adanya presidential threshold.
 
Dengan demikian, hanya partai politik yang memenuhi ambang batas bisa mencalonkan kadernya sendiri. Partai-partai yang tidak memenuhi ambang batas diwajibkan berkoalisi untuk mengajukan calon presiden sehingga tidak leluasa mengusulkan kader sendiri.

Baca juga:Masa Kampanye Pemilu 2024 Dinilai Terlalu Singkat


 
Tidak ada satu pun regulasi yang mengharuskan partai politik hanya boleh mengusulkan calon presiden dari kader sendiri. Persoalan yang jauh lebih penting ialah apakah proses rekrutmen calon presiden di dalam partai politik memenuhi kaidah demokrasi?
 
Undang-Undang Partai Politik hanya menyebutkan rekrutmen bakal calon presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan.
 
Buku yang diterbitkan LIPI dan KPK itu menyebutkan proses rekrutmen politik di dalam suatu partai pada dasarnya merupakan manifestasi dari dinamika dan demokrasi internal partai yang bersangkutan. Semakin demokratis kehidupan parpol secara internal maka semakin demokratis pula proses rekrutmen itu berlangsung. Begitu pula sebaliknya.
 
Elok nian bila dibuatkan undang-undang yang mengharuskan partai politik melakukan rekrutmen calon presiden secara terbuka, demokratis, dan akuntabel. Proses yang demokratis di dalam tubuh partai niscaya memberikan sumbangan besar terhadap demokrasi substantif bagi bangsa ini, bukan sekadar demokrasi prosedural. Regulasi itu juga mewajibkan partai melakukan kaderisasi, bukan memamerkan agitasi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Partai Politik capres UU Pemilu politik

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif