Radhar Panca Dahana
Budayawan
SELAMAT hari Kemerdekaan 17 Agustus! Hari yang selalu kita bayangkan, pahami bahkan yakini, di satu tahun tertentu di tanggal itu, kita--sebagai sebuah bangsa--telah meraih kemerdekaan yang asasi. Kemerdekaan untuk menentukan nasib kita sendiri. Kemerdekaan untuk berdaulat dan menjadi (jati) diri kita sendiri. Namun, benarkah itu? Benarkah kita sudah mengalami dan menjalani kemerdekaan itu sesuai dengan yang kita bayangkan, pahami, dan yakini?
Baik. Kita tahu, banyak jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas. Kita pun mafhum, dalam hidup global seperti sekarang ini, ternyata semua jawaban itu benar. Hanya dengan satu alasan, apa yang membuat jawaban benarku tidak lebih benar daripada kebenaranmu? Maka semua pun benar karena kebenaran bukan lagi satu pohon atau tiang yang kuat dan kukuh melawan waktu, pilahan demografis, atau geografis.
Berterimakasihlah pada temuan-temuan baru kehidupan modern, seperti kebebasan individu (untuk berpendapat, berkarya, berkumpul, dll), HAM, demokrasi, hingga laizzez faire yang menjadi fondasi kita bernafkah untuk melanggengkan hidup. Kebenaran pun, atas nama itu semua, menjadi bersifat preferensial, sesuai dengan kepentingan, latar belakang, dan tujuan seseorang. Personal.
Situasi yang kemudian ideologis itu kita nikmati dan jalankan sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Begitu pun ketika modernitas memproduksi karya budayanya yang paling hebat (terima kasih berkali-kali) yakni teknologi, baik komputasi, informasi, maupun komunikasi. Dalam dunia virtual yang diciptakannya, kita menikmati kemerdekaan yang sebenar-benarnya, lebih dari kemerdekaan mana pun yang diraih bangsa apa pun sejak awal abad 20.
Kini kita dapatkan kemerdekaan (yang dipelintir jadi kebebasan), hampir tanpa batasan negara, kebangsaan, adat, budaya, bahkan perangkat-perangkat keras dan lunak dunia modern seperti sistem politik, hukum atau ekonomi, yang dengan mudahnya diterabas, ditipu, atau dimanipulasi para manusia merdeka ini. Media sosial yang bukan hanya memeluk, melainkan juga menelan (terutama generasi muda) kita, adalah ruang entah-berentah di mana kita merdeka--maksud saya bebas--bahkan untuk tidak merdeka.
Bagaimana bisa begitu? Sabarkan hati dan tenangkan pikiran dulu, terutama untuk mencermati waktu sekitar 70-100 tahun lalu sejarah bangsa kita. Apa sebenarnya yang memberi dorongan paling bertenaga sehingga dua proklamator dan ratusan pemuka negeri mendeklarasikan kebebasan kita sebagai bangsa? Karena penjajahan atau kolonialisme? Tentu saja karena tertindasnya sebagian rakyat kita? Pasti. Karena dirampasnya kekayaan natural dan kultural kita oleh kekuatan kolonial? Kita semua setuju. Karena kita direpresi sehingga tidak bisa menentukan nasib sendiri? Setuju! Dan...apalagi?
Cukup. Semua alasan itu cukup untuk membuat sebuah bangsa, di Indonesia, Vietnam, hingga kaum Niger di AS untuk berontak demi kemerdekaan dirinya. Namun mari kita lihat, diri kita saja, dalam kehidupan mutakhir sekarang ini. Dalam alam merdeka bahkan hidup global yang mencapai kemerdekaan...ehm...kebebasan di tingkat puncaknya? Apakah sesungguhnya kita sudah merdeka dari 4-5 poin yang tersebut, sebagai alasan utama para founding fathers-mothers berjuang? Jujurlah. Apakah kolonialisme, hingga di bentuk terberatnya imperialisme, sudah tidak kita alami lagi saat ini?
Apakah rakyat kecil, baik yang disebut grass roots atau kaum adat, yang ditindas aparatus negara (yang justru mereka ongkosi hidupnya) tidak terjadi lagi? Apakah pengisapan kekayaan natural dan kultural tidak terjadi lebih dahsyat hingga ia meninggalkan luka, bukan di hati kita, melainkan juga jantung bumi dengan kerusakan tak teperbaiki dan ancaman bencana yang permanen? Apakah sungguh kita semua, Anda, dapat menentukan sendiri, diri atau siapa Anda, dan apa yang harus Anda perbuat untuk masa depan atau sekadar survive?
Jujurlah
Apabila Anda mampu menyatakan kejujuran dalam jawaban Anda, maaf, ternyata persoalan belum selesai. Tentu saja. Bukan hanya karena Anda akan merasa lemas tak bertenaga karena mengetahui bagaimana dampak ketidakmerdekaan kita saat ini jauh lebih dalam dan mengenaskan ketimbang sebelum 71 tahun lalu. Juga bukan hanya agak frustrasi karena penyebab alias musuh dari keadaan itu tidak dengan mudah kita identifikasi, seperti kompeni atau pemerintahan kolonial dulu. Kini ia agak abstrak, invisible, bahkan di depannya berdiri justru orang-orang sebangsa, sekampung bahkan sekeluarga kita. Mereka yang juga konon berteriak 'merdeka...merdeka! di setiap upacara agustusan.
Maka, inilah poin sesungguhnya tulisan ini. Kemerdekaan yang hampir absolut akibat nilai-nilai baru modernitas dan pencapaian teknologi mutakhir di atas sebenarnya ialah sebuah dunia artifisial (sebagai produk dunia virtual) ketika kita sengaja atau tak, berkehendak atau tidak, menyepakati dan menjalankan dengan teguh nilai-nilai baru di atas, dengan antara lain--ini dahsyatnya--dengan menafikan, meninggalkan, bahkan mengkhianati nilai-nilai luhur dan mulia yang ribuan tahun nenek moyang kita membangunnya.
Maka kemudian tak mengherankan, satu kali misalnya, saya berdebat keras dengan almarhum Prof Fuad Hasan, mantan Mendikbud era HM Suharto, mengapa cucunya lebih akrab dengan James Joyce ketimbang Sitor Situmorang, almarhum juga, yang kebetulan ada di sebelah kami berdua. Sebuah indikasi yang membuat kita tidak takjub jika banyak, mayoritas besar, dari kita tidak lagi paham apalagi menjalani adat istiadat atau tradisi yang telah membesarkan orangtua, kakek-nenek, atau buyut kita dulu.
Bagaimana kemudian kita bisa berdaulat atas diri kita sendiri, menjadi diri kita sendiri berbasis fondasi budaya yang kita miliki kita sendiri? Tidak. Kita sekarang, mau atau tak mau, dipaksa mau kalau perlu, harus menjadi orang lain. Yang Sunda tak jadi lagi Sunda, yang Jawa hilang Jawanya, yang Batak jadi keamerikaan, yang Manado keeropaan, yang ini kekoreaan, yang itu kejepangan, keindiaan, dst. Inilah kemerdekaan mutlak yang justru secara paradoksal menciptakan ketidakmerdekaan, di dalamnya sendiri. Kebebasan yang secara langsung menciptakan perbudakan, dalam skema apa pun: politik, ekonomi, hukum, budaya, dst.
Kalau kita sekarang berbahagia dengan banyak inisiatif dan produk-produk kreatif anak muda, bahkan menaruh harapan besar (tepatnya menggantungkan diri kita) pada mereka, sebenarnya kita telah menciptakan dosa yang sangat dalam. Lebih dalam daripada pikiran dan tindakan kita yang merusak dan menghancurkan nilai-nilai konstitusional, menikmati hidup masa kini yang hedon, tidak peduli dengan kerusakan dan bencana yang kita wariskan, bahkan pasif tak berbuat apa-apa membantu anak-anak kita yang berjuang sendiri dalam hidup sangat sulit yang justru kita punya share di dalamnya.
Apakah 71 tahun merdeka dengan 'karya nyata' ini hanya kontinuasi dari kerusakan adab di atas? Atau ada sedikit yang kita reparasi? Silakan ukur sendiri. Pihak penulis, terserah dibilang optimistis, harus menyatakan: 'Tidak. Nothing.' Semua masih berjalan ke arah yang mencemaskan. Kita pada akhirnya mewariskan sistem hidup yang memperbudak anak cucu kita nanti. Mau berdiam diri? Tak ada yang melarang. Timbun dan rasakanlah akibat atau dosanya jika Anda, kita, tidak berbuat, apa pun yang mampu diperbuat, untuk mengatasi hal di atas, sejak detik ini karena waktu tidak pernah menunggu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di