Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. MI/Ebet
Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. MI/Ebet (Abdul Kohar)

Abdul Kohar

Dewan Redaksi Media Group

Messi dan Hiperinflasi

Abdul Kohar • 21 Desember 2022 05:37
SEPAK bola sudah menjelma menjadi balsam. Ia mampu menghilangkan pening seketika walau berdurasi amat pendek. Lihatlah lautan manusia di Buenos Aires, ibu kota Argentina, bersorak-sorai menyambut sang Mesias, Lionel Andres Messi, dan kawan-kawan menjadi kampiun Piala Dunia 2022 Qatar.
 
Jutaan orang di sekujur negeri yang kini dipimpin Alberto Fernandez itu pun sedang mabuk kemenangan. Seperti ekspresi Angelica Lopez dari Buenos Aires yang mengatakan kepada Politico, "Sekarang kami juara! Seluruh dunia melihat kami hari ini! Saya tidak dapat menggambarkan kepada Anda emosi yang saya rasakan."
 
Mereka, rakyat Argentina, tengah menikmati pujaan mereka, Lionel Messi, meneguhkan diri menjadi manusia rekor. Menjadi GOAT (greatest of all time), manusia terhebat sepanjang masa yang sejati, setelah mampu memimpin timnas Argentina menekuk Prancis pada partai final.
 
Ia mengakhiri perdebatan panjang hampir dua dekade tentang siapa GOAT sejati: Messi atau Cristiano Ronaldo. Messi pun kini seperti Diego Maradona yang dianggap sebagai 'dewa' di Argentina yang dipuja melebihi segala sesuatu. Kata Messi, “Saya sangat menginginkan ini. Saya tahu Tuhan akan memberikannya kepada saya. Sekarang saya akan menikmatinya.”

Baca Juga:Warga Argentina Penuhi Jalanan, Rayakan Sukacita Kemenangan di Piala Dunia 2022


Harapan 46 juta rakyat Argentina yang diungkapkan lewat nyanyian Muchachos atau Tanah Diego dan Messi pun menjadi kenyataan. Beginilah lirik nyanyian itu:
 
‘En Argentina naci, tierra de Diego y Lionel
 
de los pibes de Malvinas que jamas olvidare
 
No te lo puedo explicar
 
porque no vas a entender
 
las finales que perdimos, cuantos anos las llore
 
Pero eso se termino, porque en el Maracana
 
la final con los brazucas la volvio a ganar Papa
 
Muchachos, ahora nos volvimos a ilusionar
 
Quiero ganar la tercera, quiero ser campeon mundial
 
Y al Diego, desde el cielo lo podemos ver
 
con Don Diego y con La Tota, alentandolo a Lionel
 
Interpretacion de No sabemos todavia’
 
‘(Saya lahir di Argentina, tanah Diego dan Lionel,
 
Tentang anak-anak dari Malvinas, yang tidak akan pernah saya lupakan.
 
Saya tidak bisa menjelaskannya kepada Anda
 
Karena Anda tidak akan mengerti, final kami kalah, berapa tahun saya menangis untuk mereka. Namun, itu sudah berakhir karena di Maracana, Final dengan 'Brazucas'
 
Ayah mengalahkan mereka lagi. Guys, sekarang kita kembali bersemangat,
 
Saya ingin memenangkan yang ketiga, saya ingin menjadi juara dunia,
 
Dan Diego, di surga kita bisa melihatnya,
 
Dengan Don Diego dan La Tota, semangat Lionel!)’
 
Lagu itu terus dikumandangkan. Messi pun, seperti Diego Armando Maradona, menjadi 'cap' balsam paling cespleng dalam mengatasi pening di kepala rakyat Argentina yang tengah dihantam hiperinflasi. Badan Statistik Nasional Argentina, INDEC, mencatat inflasi tahunan Argentina menyentuh angka 92,4 persen.
 
Itu menjadi inflasi tertinggi dalam kurun 30 tahun terakhir meskipun lebih rendah daripada estimasi awal sebesar 94,2 persen. Angka inflasi itu menunjukkan bahwa harga komoditas di Argentina naik nyaris dua kali lipat jika dibandingkan dengan tahun lalu. Situasi itu sama persis dengan penantian panjang Argentina mengembalikan trofi Piala Dunia dalam genggaman.
 
Kondisi seperti ini persis dengan situasi pada 1986 tatkala Diego Maradona memimpin Albiceleste merebut gelar juara dunia. Saat itu, inflasi rata-rata Argentina mencapai 115 persen. Bahkan, saat Argentina menjadi tuan rumah sekaligus kampiun Piala Dunia 1978, angka inflasi di negeri Juan Peron itu melebihi 175 persen.
 
Piala Dunia ketika itu dimanfaatkan rezim militer di bawah pimpinan Jenderal Jorge Rafael Videla untuk kepentingan politiknya, yakni menutupi kekejaman rezimnya. Piala Dunia, seperti ditulis thesefootballtimes.co, dijadikan Videla untuk 'menghipnosis' rakyatnya yang hidup dalam kondisi ekonomi yang buruk.
 
Jenderal Videla disebut menggunakan Piala Dunia sebagai upaya menutupi Dirty War atau Guerra Sucia, yakni 'pembasmian' oleh diktator militer (1976-1983) yang disebut proses reorganisasi nasional dengan menyingkirkan lawan-lawan politik sayap kiri. Diperkirakan sekitar 30 ribu warga tewas. Banyak dari mereka dinyatakan hilang (para aktivis menyebutnya 'dihilangkan'), ditangkap pihak berwenang, dan tidak pernah terdengar kabarnya lagi.
 
Namun, itu empat dekade lalu. Jauh berbeda ketimbang situasi saat ini ketika Messi, Di Maria, Julian Alvares, Montieli, dan kawan-kawan mempersembahkan bintang emas ketiga Piala Dunia bagi negara mereka. Rezim Alberto Fernandez tidak sedang menggunakan militer untuk menangkapi lawan-lawan politiknya. Ia bahkan tengah bergelut meramu kebijakan agar perekonomian di negeri bagian selatan Benua Amerika itu keluar dari kemelut ekonomi.
 
Saking seriusnya, ia memilih tidak hadir langsung ke Stadion Lusail, Qatar. Ia memilih memantaunya dari siaran televisi karena ia sadar bahwa kemenangan sepak bola, sehebat apa pun, bukanlah solusi permanen untuk ekonomi. Kemenangan itu sekadar balsam. Namun, balsam yang amat bermakna untuk memelihara harapan, menemukan jalan.
 
Bagi kita, di Indonesia, yang sebagian besar rakyatnya juga menjadikan sepak bola sebagai napas kehidupan, baik kiranya meniru Argentina. Kita bisa merawat harapan, merajut mimpi, menjadikan timnas Indonesia sebagai kampiun sepak bola. Tangga itu bisa dimulai dari turnamen 'piala dunia mini' untuk ASEAN, yakni AFF Cup 2022, yang digelar mulai 20 Desember ini. Lalu, tahun depan, ada Piala Asia (timnas juga lolos) dan Piala Dunia U-20 di Indonesia.
 
Boleh jadi jika rajutan mimpi itu jadi kenyataan, timnas bisa memimpin negeri ini menuju persatuan dan persaudaraan sejati atau siapa tahu setidaknya dari ajang-ajang itu kita bisa menghadirkan balsam yang manjur mengatasi penat dan pusing walau dalam sesaat.
 
Seperti kata Lionel Messi, "Kamu harus berjuang untuk mencapai impianmu. Kamu harus berkorban dan bekerja keras untuk itu."
 
Atau, dengar kata Maradona, "Ketika orang berhasil, itu karena kerja keras. Keberuntungan tidak ada hubungannya dengan kesuksesan."

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Lionel Messi Argentina Podium

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif