Jakarta: Indra Lesmana duduk santai, lalu tertawa kecil saat membahas satu hal yang ironis dalam sejarah musik Indonesia: pembajakan. Di banyak negara, pembajak dianggap musuh industri. Tapi dalam pandangan Indra, pembajakan justru punya peran besar dalam membentuk selera musik orang Indonesia di era ’80-an.
“Sebenarnya tren musik di Indonesia itu nentuin pembajak. Dari taste-nya, pembajak,” kata Indra dalam wawancara di podcast Shindu's Scoop yang tayang di YouTube Medcom.id.
Ia kemudian menjelaskan lebih detail bagaimana hal itu bisa terjadi. “Misalnya kalau kita lihat label tulisannya Yes, itu kalau nggak fusion, progressive rock. Ketahuan banget yang suka Genesis, Rush, Patrick Morris, Bill Bruford, sampai fusion-fusion itu ada di Yes label itu,” ujarnya.
Lalu ia menambahkan contoh lain. “Kemudian ada label yang lebih nggak tahu pernah dengar nggak Contessa. Kalau itu dia lebih jazz yang lebih mainstream, nggak terlalu banyak produksinya dia. Tapi yang lebih kayak West Montgomery, pokoknya jazz-jazz yang kayak standard gitu. Nah yang paling banyak juga Aquarius. Aquarius nih adalah salah satu pembajak yang punya taste musik bagus. Taste musiknya oke nih pembajak satu ini,” kata Indra sambil tertawa kecil.
Dalam pandangan Indra, pembajakan di masa itu tanpa disadari membuka jalan bagi anak-anak muda Indonesia untuk mengenal musik yang lebih kompleks dan berani. “Yang beli kaset kebanyakan anak-anak SMA saat itu. Tiba-tiba fusion atau jazzy kayak Al Jarreau, Level 42 tiba-tiba menjadi booming di Indonesia. Ya anak-anak SMA-nya saat itu dengerinnya musik itu. Keren,” ujarnya.
Dari sanalah, menurut Indra, muncul “wabah fusion” di Jakarta dan sekitarnya. “Jadi tren Jakarta itu ternyata membuat wabah terhadap anak-anak SMA di luar Jakarta juga. Dan akhirnya itu menjadi tren musik,” ucapnya.
Indra melihat semua itu sebagai paradoks menarik dalam sejarah musik Indonesia. Pembajakan memang salah secara hukum, tetapi menjadi saluran edukasi musikal yang tak dimiliki sistem industri saat itu. “Sebenarnya waktu itu salah satu band yang besar banget di Indonesia adalah Casiopea. Casiopea waktu keluar album di sini, waduh anak-anak mudanya suka banget,” katanya. “Dan mereka punya tren saat itu juga ada tren light music contest, di mana yang menang band-nya main di Jepang, dibawa ke Jepang. Jadi kayak ada suatu kompetisi yang kuat juga secara positif dari perkembangan anak-anak muda untuk main musik yang dimainin ya musik fusion kebanyakan.”
Menurut Indra, kondisi itu diperkuat saluran televisi TVRI yang kerap memutar acara jazz. “Dan saat itu TV kan cuma ada satu, TVRI. TVRI suka jazz. Jadi yang diputar juga ada acara jazz apa gitu kalau malam, ada acara jazz apa gitu,” ujarnya.
Dalam satu tarikan napas panjang, Indra seperti menggambarkan keseluruhan ekosistem musik Indonesia era ’80-an: satu stasiun televisi, kaset bajakan, dan gairah kolektif anak muda. Dari situ, lahir generasi jazz Indonesia yang punya karakter kuat.
“Jadi waktu itu TVRI suka jazz, terus pembajakan juga suka jazz, anak-anak SMA jadi suka jazz. Jadi kayak semuanya nyambung aja gitu,” katanya dengan nada reflektif.
Indra Lesmana, yang kala itu baru kembali dari Australia dan mulai membentuk Krakatau, adalah bagian dari generasi itu. Ia menyaksikan langsung bagaimana kaset-kaset bajakan yang dijual di Glodok, Blok M, dan Bandung membentuk persepsi baru tentang musik jazz.
“Kalau nggak ada mereka (pembajak), mungkin anak-anak Indonesia waktu itu nggak bakal dengerin jazz-fusion,” ujarnya.
Baginya, sejarah kadang bergerak lewat jalur yang tak ideal. Tapi justru di situlah musik menemukan napasnya. “Lucu ya,” katanya. “Yang nentuin arah musik kita dulu bukan industri, tapi pembajak.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id