Ilustrasi. Foto: MI/Susanto
Ilustrasi. Foto: MI/Susanto (Vitri Aryanti)

Vitri Aryanti

Analis Kebijakan Kementerian Pertanian

Politik Swasembada Pangan

Vitri Aryanti • 29 November 2024 14:50
BAHASA swasembada pangan sudah dibunyikan Soekarno sekitar 72 tahun lalu. Bung Karno mengusung “pangan dengan mati dan hidupnya suatu bangsa”.
 
Bagi bangsa kita, pangan merupakan sumber kehidupan sekaligus sumber penghidupan sebagian besar warga masyarakat. Itu sebabnya, pemerintah penting untuk menanganinya secara serius.
 
Terdapat empat komponen pembangunan pangan, yakni swasembada, ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan. Swasembada pangan dianggap sebagai kata kunci terwujudnya ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan. Tanpa terwujud swasembada pangan lebih dulu, omong kosong kita meraih ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan.
 
Gambaran ini masuk dalam Asta Cita Pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Ketahanan dan swasembada pangan dimulai dari makan dan susu gratis. Bahkan, Presiden Prabowo meminta agar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, semua jajaran dia berkolaborasi membentuk orkestra menuju lumbung pangan dunia 2045. Namun, patut disadari hasrat untuk mewujudkan swasembada pangan bukanlah hal mudah. Tidak segampang membolak-balik telapak tangan seperti bermain hom pim pa. Swasembada pangan adalah proses panjang yang butuh perjuangan.
 
Di awal Pemerintahan Prabowo-Gibran, banyak kritikus dan pengamat optimistis cita-cita swasembada pangan bisa terwujud. Tapi, di sisi lain, ada juga pihak yang meragukannya.
 
Perbedaan cara pandang seperti ini wajar terjadi. Pro dan kontra dalam menyikapi suatu kemauan politik juga sangat dihalalkan dalam iklim demokrasi.

Bahasa politis atau realitas

Tinggal sekarang bagaimana kemampuan kita mengolahnya, sehingga diperoleh solusi cerdas yang diharapkan. Kita ingin swasembada pangan bukan sekadar "bahasa politis", namun menjadi "bahasa realitas".
 
Ketika seorang presiden bicara soal swasembada pangan, tentu respons publik akan sangat berbeda jika yang bicara itu seorang guru besar pangan dari perguruan tinggi. Yang disampaikan presiden cenderung akan dianggap sebagai "bahasa politis". Di sisi lain, yang diutarakan guru besar umumnya akan dinilai sebagai "bahasa teknokratis".
 
Merupakan tugas bersama untuk "menyandingkan" kedua bahasa di atas menjadi satu kesatuan. Mewujudkan kemauan politik tersebut menjadi sebuah fakta dalam kehidupan. Dalam bahasa lain, kita perlu segera mengejawantahkan dari bahasa politis menjadi bahasa realitas. Atau, bisa juga ditegaskan mengubah wacana menjadi kenyataan.

Syarat swasembada

Badan Pangan Dunia (FAO) merumuskan syarat swasembada adalah 90% dari produksi yang dihasilkan diraih oleh para petani di dalam negeri. Sisanya sebanyak 10% boleh impor. Jadi, kalau kita mau swasembada beras, 90% kebutuhan dalam negeri harus dihasilkan oleh produksi dalam negeri.
 
Ketika tahun ini pemerintah merencanakan impor beras sebanyak 5 juta ton, dapat dipastikan kita kehilangan atribut swasembada beras. Mengapa? Sebab, angka 5 juta ton sudah melampaui batas 10%. Produksi beras dalam negeri saat ini sekitar 31 juta ton. Mestinya, impor beras yang dilakukan maksimal 3,1 juta ton, jika ingin menggenggam predikat swasembada beras.
 
Terlepas dari beratnya tantangan yang harus dijawab, swasembada pangan sebagai bahasa politik presiden, tentu harus dapat diamankan dan dilaksanakan. Sebagai bangsa yang pernah menggapai swasembada beras pada era 1984, mestinya pengalaman kisah sukses swasembada beras dapat ditularkan kepada upaya mencapai swasembada pangan.

Belajar pada Orde Baru

Kendalanya adalah apakah pemerintah saat ini mau dan ikhlas untuk belajar terhadap pengalaman Pemerintahan Orde Baru dalam kegemilangannya meraih swasembada beras? Atau, apakah masih ada di antara kita yang berpandangan semua produk Pemerintahan Orde Baru itu jelek semua, sehingga tidak ada satu pun program yang pantas untuk ditiru dan diteladani?
 
Untuk itu, saatnya kita sebagai bangsa dituntut untuk "legowo" dalam menyikapi perjalanan pembangunan yang diarungi. Swasembada beras 1984 adalah proses monumental yang mendunia. Kisah sukses swasembada beras, telah tercatat dengan tinta emas dalam peta bumi pembangunan pangan dunia. Semua warga dunia sepakat, apa yang diraih Indonesia adalah prestasi internasional.
 
Akhir kata perlu diingatkan, upaya menggeser makna swasembada pangan dari bahasa politis menjadi bahasa realitas, tentu sangat membutuhkan kerja keras dan kerja cerdas segenap komponen bangsa. Pertanyaan kritisnya adalah apakah kita siap untuk melakoninya? Sebagai bangsa pejuang, jawaban yang disampaikan harusnya: Siap![]
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Swasembada Pangan Swasembada Beras Prabowo-Gibran

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif