Karena itu, terdengar agak lucu ketikarice cooker, barang yang amat biasa itu, tiba-tiba melejit menjadi isu nasional. Gara-garanya satu:Kementerian ESDMujug-ujug merilis program pembagianrice cookersecara gratis kepada masyarakat.
Tidak tanggung-tanggung, program itu dituangkan dalam Peraturan Menteri ESDM No 11 Tahun 2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik bagi Rumah Tangga. Sasarannya 500 ribu rumah tangga yang tidak memilikirice cookersebelumnya. Anggarannya Rp347,5 miliar.
Pemerintah mengeklaim bagi-bagirice cookersecara cuma-cuma itu ialah upaya untuk mendorong pemanfaatan energi bersih dari rumah tangga. Wuih, keren, bukan? Namun, itu bahasa tingginya. Kalau pakai bahasa gamblang, pemerintah sepertinya ingin menjadikan pembagian penanak nasi listrik itu sebagai jalan keluar dari kepusingan, bahkan kegagalan mereka membatasi penggunaan gas elpiji 3 kg. Pembagian 500 riburice cookerdisebut berpotensi meningkatkan konsumsi listrik sekitar 140 gigawatt-hour (Gwh) atau setara dengan kapasitas pembangkit listrik 20 megawatt (Mw). Kebetulan, daya listrik PLN diperkirakan berlebih hingga 7.400 Mw di tahun ini.
Rice cookerbetul-betul hendak dijadikan seperti lakon dalam kisah 'from zero to hero'. Dari bukan apa-apa menjadi pahlawan. Dari sekadar perangkat listrik untuk menanak nasi menjadi motor pengungkit energi bersih sekaligus membantu menyelesaikan persoalan kelebihan pasokan listrik PLN.
Hebat betul sirice cookerini, tapi buat saya, kok, terlalu mengawang-awang, ya? Bakal semangkus atau seheroik apa kepahlawanan dari sang penanak nasi, itu yang saya tidak yakin. Sepertinya pemerintah berlebihan berharap padarice cooker. Seolah-olah kalau semua orang sudah memakai alat itu, mereka akan langsung meninggalkan elpiji. Seakan-akan kalau 500 ribu rice cooker sudah terbagi dan terpakai, sebagian beban PLN untuk mengatasi kelebihan pasokan listrik mereka langsung sirna.
Baca:Biar Ramah Lingkungan, Kebijakan ESDM Diarahkan pada Transisi Energi |
Sesederhana itukah persoalannya? Tentunya tidak. Namun, seperti yang sudah-sudah, pemerintah gemar memilih jalan penyelesaian yang gampang sekalipun itu tidak efektif, pun tidak efisien. Anda mungkin ingat program pemerintah bagi-bagi kompor listrik, beberapa waktu lalu. Polanya mirip dengan pembagianrice cookerini. Alasannya juga nyaris sama. Apa hasilnya? Gagal.
Hebohrice cookerkali ini hanyalah pengulangan kisah-kisah lama tentang kebijakan pemerintah yang terlalu menggampangkan masalah. Akibatnya, solusi yang ditawarkan tidak tepat sasaran. Ibarat gatal-gatal di punggung, tapi yang digaruk kepala. Gatal tidak hilang, malah mungkin kepala jadi luka karena terus-menerus digaruk. Tambah masalah.
Begitu juga bagi-bagirice cooker. Inginnya menyelesaikan masalah, tapi yang muncul justru masalah baru. Kita ambil contoh dari sisi kebutuhan daya listriknya. Kalau dilihat dari kriteria penerima menurut Permen ESDM No 11/2023, salah satunya ialah masyarakat yang masuk golongan tarif untuk keperluan rumah tangga kecil dengan daya 450 volt-ampere (VA) hingga maksimal 1.300 VA (watt).
Jika melansir Berapawatt.com, alat penanak nasi elektronik pada umumnya memerlukan daya 100-400 watt ketika mode memasak, dan 30-50 watt ketika menghangatkan. Lah, daya listrik rumah penerima cuma 450 watt, kok, malah mau dikasih perangkat yang menghabiskan 100 watt lebih?
Buat masyarakat menengah bawah, bukan penghematan yang akan mereka dapat, melainkan justru ketambahan beban baru karena konsumsi listrik mereka otomatis naik. Sungguh aneh, bahkan konyol.
Pemerintah justru seperti sedang mengejek rakyatnya sendiri. Mereka mau bagi-bagi penanak nasi gratis di saat masyarakat sedang kesulitan mendapatkanberaskarena harganya yang mahal. Beras untuk ditanak saja tidak punya, eh, malah mau dikasih alat penanaknya. Apa lagi sebutan yang pas untuk tindakan itu kalau bukan ejekan?
Kiranya sudah benar judul salah satu berita di koran ini edisi Selasa, 10 Oktober 2023, 'Rakyat Butuh Beras, bukan Penanaknya'. Sayang betul anggaran sampai ratusan miliar dibuang-buang untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak dibutuhkan masyarakat.