Cerita tentang Prabowo baru akan ditulis, sementara kisah Jokowi harusnya berakhir di sini. Kata 'harusnya' seperti terlekat bagi sebagian orang yang memang pesimistis dan kritis, mengingat anak sulung Jokowi, dengan segala dinamika politik yang mengiringinya, kini menjadi wakil dari Prabowo Subianto.
Pertengahan September 2024, South China Morning Post (SCMP) menyoroti kepemimpinan Jokowi melalui artikel berjudul "From 'New Hope' to 'Mulyono': how power grabs threaten Widodo’s legacy in Indonesia". Artikel ini ditulis Jurnalis Amy Sood dan secara tajam menyoroti reaksi luas masyarakat yang gusar terhadap berbagai manuver politik Jokowi hingga menjulukinya dengan sebutan Mulyono.
"Presiden yang dulunya populer ini kini menghadapi reaksi balik karena tuduhan pembangunan dinasti melemahkan komitmennya terhadap demokrasi," tulis Amy Sood pada pembuka artikelnya. Amy menyebut, ketika Joko Widodo pertama kali terpilih satu dekade yang lalu, ia dipuji sebagai “Harapan Baru” di sampul majalah Time, yang mencerminkan keyakinan luas bahwa ia akan memberantas korupsi dan mengekang dominasi elite sebagai Presiden Indonesia. Amy juga mengutip pendapat seorang sosiolog politik di Perth Australia, Ian Wilson: "Kini, menjelang akhir masa jabatannya yang kedua dan terakhir, banyak masyarakat Indonesia yang menyebut dirinya dengan nama lahirnya--Mulyono--untuk 'mempermalukannya'."
Jadi media darling
Satu dekade lalu, sosok Jokowi jauh dari gambaran di atas. Jokowi adalah pemimpin yang lahir dari tengah-tengah masyarakat. Jokowi muncul sebagai antitesis kepemimpinan nasional selama ini, yang biasanya datang dari kaum elite, mulai jenderal, pimpinan partai politik, cendekiawan atau tokoh organisasi besar. Jokowi menjadi 'media darling' sejak dirinya menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya menjadi Presiden. Tagline kampanye saat menjadi capres pun menguatkan antitesis itu, yakni "Jokowi adalah Kita", begitu menggambarkan Jokowi bukan dari kaum elite.Sepertinya 'kecele politik' seperti ini juga terjadi di sejumlah negara dunia. Tokoh yang sebelumnya diharapkan bisa membawa perbaikan di masyarakat, justru berubah mengecewakan saat mereka sudah terpilih sebagai pemimpin nasional. Perubahannya bahkan justru 180 derajat.
Di Tunisia misalnya. Presiden Kais Saied yang terpilih kembali lewat Pemilu tahun ini, mendapat sorotan tajam. Publik kritis di Tunisia menilai, Kais menyalahgunakan kekuasaannya untuk bisa terpilih kembali sebagai penguasa tertinggi.
Partai-partai oposisi dan kelompok-kelompok HAM menuding Kais menggunakan instrumen hukum untuk memenjarakan lawan-lawan politiknya. Bahkan, sejumlah nama kandidat yang disebut punya peluang kuat mengalahkan Kais, dicoret oleh otoritas kepemiluan Tunisia: ISIE. Tidak hanya menjelang pemilu, Kais Saied sudah membuat hati publik Tunisia pedih lewat aksinya membubarkan Parlemen pada Juli 2021, yang berujung pada aksi demonstrasi besar-besaran saat itu.
Nama Kais Saied sebelumnya merupakan harapan besar warga Tunisia pasca-Arab Spring yang banyak menumbangkan pemimpin diktator di Timur Tengah dan Afrika Utara. Kais yang dikenal sebagai pakar hukum tata negara dan pemikiran-pemikirannya populer melalui media, terpilih dalam Pemilu 2019 dengan 73% suara.
Metode kampanyenya pun dinilai luar biasa, yakni dengan mengusung slogan Rakyat Menginginkan. Kais mendatangi rakyat dengan turun langsung menemui mereka. Jadilah Kais diharapkan publik saat itu mampu membawa Tunisia sebagai negara yang jauh lebih demokratis, setelah rezim Ben Ali yang berkuasa selama 23 tahun.
Baca:Demokrasi di Indonesia Harus Menjaga Martabat Setiap Individu |
Selain Kais Saied di Tunisia, ada juga nama Sheikh Hasina di Bangladesh. Saat ini Hasina menjadi pelarian politik karena demonstrasi besar menentangnya.
Awal tahun 2024 menjelang pemilu, pemerintahan Hasina bertindak keras dengan menangkap ribuan simpatisan partai oposisi yang memprotes kebijakan soal kuota pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil. Hasina dinilai memberikan akses khusus soal kuota tersebut kepada keturunan pejuang kemerdekaan sampai 56 persen.
Pejuang kemerdekaan tahun 1971 inilah yang membuat ayah Hasina dianggap sebagai tokoh kemerdekaan dan diangkat menjadi presiden pertama Bangladesh saat itu. Selain itu, pemerintahan Hasina dituding terlibat dalam ratusan kasus penghilangan paksa dan pembunuhan sejak 2009.
Sheikh Hasina sendiri sebelumnya dikenal sebagai tokoh prodemokrasi yang dikenal gigih melawan pemerintahan rezim militer, yang pernah menggulingkan ayahnya. Sejak 1983, Hasina sendiri kerap menjadi target rezim militer untuk diasingkan. Perjuangan Hasina menarik simpati rakyat dan menjadikannya populer, sehingga akhirnya mampu merebut kekuasaan dan memimpin Bangladesh sejak 1990.
Bahaya populisme
Dari kisah perjalanan politik di masing-masin negara di atas, ada benang merah yang bisa ditarik. Baik Jokowi, Kais Saied, maupun Sheikh Hasina merupakan tokoh yang sebelumnya menjadi harapan besar rakyat. Mereka menghadirkan simpati, hadir sebagai antitesis, bahkan dianggap sebagai simbol perubahan. Kais Saied bahkan dianggap sebagai media darling. Kepakarannya di bidang hukum tata negara dianggap bisa membawa Tunisia menjadi negara demokratis.Begitu juga dengan Jokowi. Lely Arrienie dalam bukunya Komunikasi Politik: Teori, Model, Perspektif dan Media (2022) menyebut salah satu peran media massa yang sangat berkontribusi pada perjalan seorang Jokowi yang menjadi Presiden ke-7 adalah menempatkan Jokowi sebagai media darling. Sehingga, tanpa iklan berbiaya mahal, popularitas Jokowi melesat bak meteor sejak dia menjabat sebagai Wali Kota Solo, menjadi Gubernur DKI Jakarta, kemudian bertarung di pemilihan presiden. Dan Terpilih (hlm 299).
Media tentu memiliki peran penting dalam mem-framing dan memopulerkan tokoh-tokoh tertentu yang tujuannya membawa ke arah yang lebih baik. Meskipun kadang kadarnya sering kali berlebihan, sehingga lahirlah terminologi media darling. Penokohan melalui pemberitaan secara berulang dan berlebihan inilah yang membuat tokoh tersebut kelewat populer.
Kelewat populer membuat tokoh politik tersebut cenderung populis. Masyarakat akan mudah 'tersihir' dengan apa pun perilaku tokoh tersebut. Dukungan masyarakat terhadapnya pun akan cenderung irasional.
Dalam bukunyaDemokrasi Digital: Manusia, Teknologi dan Kontestasi (2022), Alfan Alfian menyinggung tentang bahayanya populisme politik. Menurut dia, tren populisme politik mempercepat peminggiran demokrasi dan menghadirkan kembali otoritarianisme dalam bentuk baru.
Menjelma despot
Populisme politik melejitkan tokoh yang dibesarkan lewat media-media tradisional maupun media sosial. Dalam bab Mengelola Demokrasi di Abad Digital (hlm 277), Alfan merujuk John Keane tentang konsep despotisme baru, sebuah pemerintahan dengan dipimpin seorang despot, yang ahli memanipulasi, penuh tipu daya dan rayuan.Karena itulah seorang despot baru ini merasa harus punya dan menjaga modal populis di mata masyarakat, terutama kelas bawah. Maka tidak lain, Medialah yang menjadi kendaraannya. Para despot baru ini menjalankan pemerintahan demokrasi yang semu, karenanya mereka tidak suka pembagian kekuasaan. Disebut juga, para despot baru ini lihai dalam menggunakan forum peradilan (hukum) untuk kepentingannya.
Dari sini kita melihat dan bisa mengambil pelajaran bahwa ada peran penting media terhadap berlangsungnya kehidupan demokrasi di sebuah negara. Media dengan media darling-nya, bisa membuat seorang tokoh dielu-elukan secara berlebihan. Melahirkan populisme politik yang kelewatan dan malah berakhir dengan hadirnya kembali otoritarianisme dalam bentuk despotisme baru.
Sudah sering kita mendengar bahwa media adalah pilar keempat demokrasi, maka sepatutnyalah media mulai mengoreksi diri. Tempatkan diri kembali fungsi sebagai watch-dog, letakkan kembali fungsi voicing the voiceless.[]