Petugas mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium di SPBU Muri jalur pantura, Tegal, Jawa Tengah. (foto: Antara/Oky Lukmansyah)
Petugas mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium di SPBU Muri jalur pantura, Tegal, Jawa Tengah. (foto: Antara/Oky Lukmansyah) ()

Revisi UU Migas dan Konsolidasi Ekonomi Nasional

18 Februari 2016 11:53
Mukhtasor, Guru Besar ITS, Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014)
 

 
MEMASUKI 2016, Revisi UU Migas masih menjadi limpahan tugas tahun lalu. RUU ini disiapkan untuk revisi UU 22/2001, yakni tidak kurang dari 17 pasal penting di dalamnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian Revisi UU Migas dengan baik dan mengundangkannya dengan segera ialah agenda penting sekaligus menjadi momentum bagi proses konsolidasi ekonomi nasional.
 
Konsolidasi nasional Perjalanan berbangsa dan bernegara Indonesia melibatkan proses konsolidasi nasional, yang dapat dikelompokkan dalam tiga tahap. Tahap pertama ialah konsolidasi sosial budaya. Identitas daerah dan kesukuan yang sebelumnya sangat dominan, kini secara sistematis telah
 
menjadi bagian penyusun identitas nasional. Generasi muda dewasa ini mendapati Indonesia sebagai identitas nasional mereka. Sumpah Pemuda adalah penanda bagi proses perekatan sosial, dengan bahasa Indonesia sebagai instrumen persatuan dan identitas bangsa.
 
Selanjutnya dari sisi politik, Proklamasi 17 Agustus 1945 menandai konsolidasi nasional tahap kedua. Pusat-pusat kekuasaan politik yang sebelumnya berada di tangan pemimpin di daerah dan raja-raja di Nusantara segera berpindah menuju satu kesatuan politik RI. Proses tersebut kini menuju keseimbangan, yakni suara dan peran rakyat semakin diperhitungkan. Pemilihan Umum adalah instrumen konsolidasi politik untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden, anggota legislatif ,dan kepala daerah di semua jenjang.
 
Tahap konsolidasi nasional yang ketiga ialah konsolidasi ekonomi. Tidak seperti konsolidasi sosial budaya dan politik, proses konsolidasi ekonomi nasional tidak kunjung matang. Ironisnya, agenda konsolidasi ekonomi bahkan belum dipedomani dan diwujudkan.
 
Mandulnya UU 22/2001 dalam tata kelola migas ialah salah satu bukti yang nyata. Sumber daya ekonomi migas tidak dikonsolidasikan untuk dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
 
Konsolidasi ekonomi
 
Perekonomian nasional disusun berdasarkan usaha bersama dengan prinsip
 
kekeluargaan, adalah amanat UUD 1945. Badan usaha dapat dipandang sebagai instrumen konsolidasi ekonomi, dan bentuk usaha bersama dengan prinsip kekeluargaan tersebut ialah koperasi.
 
Jika negara dapat dipandang sebagai representasi kebersamaan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak, BUMN dalam batas tertentu juga dapat dipandang sebagai usaha bersama. BUMN ialah tangan negara di bidang ekonomi, terutama dalam pemerataan infrastruktur dan penyediaan barang dan jasa.
 
Namun, dalam konteks tata kelola migas, ironinya, UU 78/1971 dicabut dan diganti dengan UU 22/2001. Kewenangan BUMN migas sebagai pengelola seluruh cadangan migas nasional dihapus. Pengelolaan sebagian besar cadangan migas diserahkan kepada suatu badan
 
baru. Selanjutnya, kedudukan BUMN migas disejajarkan dengan perusahaan asing dalam kontrak kerja sama produksi minyak dan gas di negeri sendiri.
 
Dalam hal konsolidasi politik, para raja di Nusantara rela menyerahkan kedaulatan dan kewenangannya demi bersatu dan memperkuat kedaulatan Indonesia. Anehnya, dalam bidang ekonomi, khususnya migas, hal yang terjadi ialah sebaliknya. Pengelolaan sumber daya ekonomi dalam bentuk cadangan migas nasional yang telah terkonsolidasi dalam satu BUMN dan justru telah menjadi model di dunia internasional, kini dipecah-pecah. Fenomena tersebut terasa seperti upaya pembentukan kerajaan ekonomi baru.
 
Akibatnya, konsolidasi ekonomi macet. Kemampuan investasi BUMN terbatas. Kemampuan pemerataan infrastruktur tidak memadai. Indonesia kuat menjadi angan-angan sehingga tujuan dibentuknya negara RI, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, agaknya masih menjadi pekerjaan yang amat berat.
 
Kompromi untuk konsolidasi
 
Kita membutuhkan jalan kembali pada proses konsolidasi ekonomi. Memperkuat BUMN untuk memperkuat kemampuan investasi dan ketahanan energi di negeri sendiri. Inilah salah satu agenda dalam konsolidasi nasional tahap ketiga. Sebagian pihak khawatir terjadinya kekuatan BUMN yang terlalu besar yang dapat disalahgunakan, tidak efisien dan praktik KKN. Untuk itu, dalam tata kelola baru, diperlukan BUMN dengan budaya baru, yang menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang baik dalam sistem good corporate governance (GCG).
 
Sebagai BUMN migas, transformasi di Pertamina tidak boleh berhenti, bahkan perlu transformasi yang dipercepat. Proses transformasi ke budaya baru tersebut lebih dimungkinkan sekarang jika dibandingkan dengan 1980-an atau 1990-an. Dengan iklim transparansi di awal abad 21 ini dan budaya pengawasan yang makin melembaga, termasuk pengawasan oleh KPK, peluang perubahan ke arah budaya baru lebih terbuka.
 
Konsolidasi itu berarti menggabungkan dan memperkuat, bukan memecah dan memperlemah. Sumber daya manusia dari SKK Migas atau dulu BP Migas, dapat diberikan kesempatan besar untuk berkarya dalam pengelolaan cadangan migas nasional yang terstruktur dalam suatu BUMN yang tergabung dalam BUMN holding sebagai rumah besar bersama. Pertamina dengan budaya baru dibesarkan ukurannya dalam bentuk holding sehingga dapat menanggung tugas, baik sebagai pengelola cadangan migas nasional maupun dalam pelaksanaan usaha bisnis migas lainnya.
 
Dengan kompromi seperti ini, tidak ada yang dikalahkan. Semua menang karena terjadi konsolidasi potensi ekonomi nasional. Akibatnya, Indonesia memiliki BUMN migas holding yang kuat, kredibilitasnya tinggi, kapasitasnya besar, dan perannya bagi pembangunan energi meningkat.
 
Hal ini makin relevan mengingat beban persoalan nasional yang besar, pembangunan infrastruktur energi tidak dapat mengejar pertumbuhan kebutuhannya. Produksi minyak nasional mengalami defisit dan impor minyak menjadi beban keuangan negara dalam beberapa tahun terakhir.
 
Sudah 70 tahun Indonesia merdeka, tetapi penduduk yang belum mendapatkan layanan listrik diperkirakan mencapai 40 juta. Bahkan, diperkirakan pada 2019 nanti Indonesia bukan hanya defisit minyak, melainkan juga defisit energi secara umum. Kita memerlukan kompromi untuk konsolidasi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase uu migas

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif