Agus Herta Sumarto, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
PERLAMBATAN pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa awal pemerintahan Jokowi-JK sepertinya telah menimbulkan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap sektor ketenagakerjaan Indonesia.
Tren penurunan angka pengangguran terbuka sempat tersendat, bahkan mengalami kenaikan di sekitar akhir 2014.
Angka pengangguran terbuka yang pada Februari 2014 berjumlah 5,70% dari total angkatan kerja Indonesia naik menjadi 5,94% pada Agustus 2014.
Meskipun angkanya sempat turun pada Februari 2015, penurunan tersebut belum bisa mengembalikan tingkat pengangguran terbuka ke angka seperti Februari 2014.
Pengangguran terbuka per Februari 2015 berkisar di angka 5,81% dari total angkatan kerja Indonesia, atau masih tinggi 0,11% jika dibandingkan dengan Februari 2014.
Hal itu cukup ironis mengingat sejak 2012 Indonesia seharusnya sudah mendapatkan keunggulan dari sektor ketenagakerjaan.
Tahun 2012 seharusnya menjadi tonggak awal kemajuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia karena pada 2012 Indonesia memasuki suatu fase keuntungan demografi dengan jumlah penduduk usia produktif lebih besar daripada jumlah penduduk usia tidak produktif.
Fase itu dikenal dengan istilah demographic dividend atau dalam istilah bahasa Indonesia biasa disebut dengan bonus demografi.
Hal itu menandakan bahwa dari sisi SDM, sejak 2012 Indonesia memiliki modal yang sangat besar untuk membangun perekonomiannya ke arah yang jauh lebih baik.
Bonus demografi bisa menjadi multiplier effect yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebagai negara yang sedang mengalami demographic dividend, Indonesia memiliki kesempatan yang cukup besar untuk menjadikan penduduk usia produktif sebagai engine of growth.
Jumlah penduduk Indonesia usia produktif per Februari 2015 menembus angka 128 juta.
Jumlah itu enam kali lipat jumlah total penduduk Thailand.
Dengan jumlah penduduk usia produktif sebanyak itu, seharusnya Indonesia bisa menggerakkan perekonomiannya jauh melampaui seluruh negara anggota ASEAN.
Selain sebagai modal tenaga kerja, penduduk usia produktif menjadi ceruk pasar yang sangat besar untuk seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan dari proses perekonomian yang sedang berjalan.
Namun, sayangnya pemerintah tidak pernah menyiapkan secara serius dalam menyambut bonus demografi tersebut.
Bahkan SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden yang terpilih pada Pilpres 2009 tidak pernah menyentuh dan membahas masalah bonus demografi dalam visi misi pembangunan ekonomi mereka.
Praktis, tidak ada persiapan berarti yang dilakukan pemerintahan SBY-Boediono dalam menyambut dan memanfaatkan bonus demografi tersebut.
Hal yang sama juga dilakukan pemerintahan Jokowi-JK.
Bonus demografi hanya terdengar sayup-sayup seolah-olah hilang ditelan waktu dan terlupakan begitu saja.
Padahal, bonus demografi yang saat ini sedang dialami Indonesia ibarat pedang bermata dua, di satu sisi memiliki potensi yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia, tetapi di sisi lain memiliki risiko yang juga tidak kalah besarnya.
Bonus demografi bisa berakibat buruk bahkan menjadi bencana kependudukan bagi kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia seperti yang dialami Afrika Selatan dan Brasil.
Afrika Selatan dan Brasil bisa menjadi contoh negara yang tidak dapat memanfaatkan bonus demografi secara optimal.
Afrika Selatan dan Brasil ialah dua negara yang gagal mendapatkan keuntungan dari bonus demografi.
Afrika Selatan sampai sekarang masih terjebak sebagai negara dunia ketiga yang belum mampu keluar dari permasalahan kemiskinan yang membelit penduduknya.
Brasil saat ini terjebak dalam middle-income trap karena ketimpangan ekonomi antarmasyarakat masih sangat tinggi, pendapatan masyarakat tidak bisa bertambah, serta Brasil tidak bisa keluar dari zona kelompok negara midle income ke kelompok negara high income.
Banyaknya jumlah penduduk usia produktif membutuhkan sarana penyaluran bagi produktivitas mereka.
Tersedianya lapangan pekerjaan yang layak menjadi prasyarat utama untuk menjadikan bonus demografi itu berdampak positif bagi perekonomian nasional.
Jika lapangan pekerjaan yang layak tidak cukup tersedia, penduduk usia produktif ini akan menjadi beban tambahan bagi perekonomian dan pada akhirnya akan menjadi bencana kependudukan.
Kondisi itu akan diperparah pemberlakuan ASEAN Economic Community (AEC).
Sebagaimana diketahui bahwa pada akhir 2015 ini Indonesia akan memasuki pemberlakuan AEC dengan sektor ketenagakerjaan untuk kelompok tenaga kerja terdidik akan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas dalam cakupan AEC.
Tenaga kerja terdidik Indonesia akan bersaing secara langsung dengan tenaga kerja dari sembilan negara ASEAN lainnya.
Padahal, peringkat pembangunan manusia Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Indonesia berada di peringkat ke-108 dunia berada di bawah Singapura (9), Brunei Darussalam (30), Malaysia (62), dan Thailand (89).
Dengan kata lain, sangat besar kemungkinan kualitas tenaga kerja terdidik Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan keempat negara tadi.
Lebih parahnya, pemerintah sampai saat ini belum memiliki peta distribusi angkatan kerja yang dibuka pada masa AEC nanti.
Sebagaimana diketahui, terdapat 12 sektor prioritas AEC yang disebut dengan free flow of skilled labor (arus bebas tenaga kerja terampil).
Untuk ke-12 sektor tersebut, seluruh angkatan kerja yang berasal dari setiap anggota ASEAN boleh untuk keluar masuk bekerja di setiap sektor tersebut tanpa ada barriers dari setiap negara.
Oleh karena itu, jika penduduk usia produktif itu tidak disiapkan dengan baik, mereka hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri.
Mereka tidak hanya absen dari perannya sebagai engine of growth, tetapi lebih parahnya mereka akan menjadi faktor penghambat terbesar dalam perkembangan ekonomi Indonesia.
Berkaca pada kondisi penduduk usia produktif saat ini, seolah-olah mereka menjadi modal menganggur yang tidak termanfaatkan.
Keberadaannya seperti terlupakan sehingga potensinya benar-benar terbuang percuma.
Jika pemerintah serius ingin memenangi persaingan dalam AEC nanti dan menjadi negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, pemerintah harus mulai mempersiapkan potensi yang terlupakan itu.
Bonus demografi harus benar-benar dimanfaatkan secara optimal sehingga Indonesia bukan hanya bisa terlepas dari bahaya bencana kependudukan.
Namun, lebih jauhnya Indonesia bisa menjadi negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, Asia, bahkan di dunia.
Syaratnya hanya satu, jangan lupakan bonus demografi yang saat ini sudah ada di tangan.