Pertemuan diisi dengan paparan At-Thayyib tentang konsep wasathiyah (keadilan) dalam Islam yang menjadi perhatian utama beliau saat ini. Di Mesir, gelar Imam Besar disematkan kepada seseorang yang memiliki otoritas tinggi dalam pemikiran Islam dan fikih. At-Thayyib meraih gelar Grand Syaikh Al-Azhar pada Maret 2010 menggantikan almarhum Muhammad Sayyid Tantawi.
Keesokan harinya, pertemuan penulis dengan At-Thayyib berlangsung di Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta. Di Darunnajah, tradisi penyambutan tamu negara menerapkan standar protokoler yang berlaku di pesantren-pesantren modern alumni Gontor. Penyambutan melibatkan santri yang berbaris di kanan dan kiri jalan yang akan dilalui tamu negara. Tamu negara juga dikawal pasukan marching band dan pasukan kehormatan hingga menuju lokasi kegiatan.
Menerima penyambutan yang luar biasa tersebut, selain berterima kasih yang tak terhingga, At-Thayyib menyampaikan rasa empatinya kepada para santri. Sikap tersebut tampak dan diungkapkan saat mengawali sambutan. "Ketika datang, yang pertama kali saya temui adalah putra-putriku yang berbaris di bawah terik matahari. Saya melihat butiran keringat di wajah mereka. Untuk itu, saya sampaikan terima kasih yang tak terhingga. Dan mohon agar mereka bisa berteduh dan bisa masuk ke ruangan ini."
Pernyataan ini menarik untuk diperhatikan dengan beberapa alasan. Pertama, menunjukkan kekagumannya mendapat sambutan semeriah itu dan ungkapan terima kasih atas penyambutannya.
Kedua, menunjukkan rasa kasih sayang kepada para santri. Dari segi panggilan saja, beliau memanggilnya dengan sebutan “putra-putriku”. Artinya, memosisikan sebagai orang tua bagi para santri. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa para peserta didik tidak disebut peserta didik, tapi disebut putra-putriku, anak-anakku. Ini penting untuk membangun hubungan guru-murid sebagaimana hubungan ayah dan anak.
Ketiga, mengisyaratkan perlunya perlindungan bagi mereka. Hal ini bisa dicermati dari permintaan beliau agar para santri yang menyambutnya di pinggir jalan agar berteduh karena teriknya matahari.
Baca:Universitas Al-Azhar Mesir Minta Seleksi Mahasiswa Baru Dipusatkan Lewat Kemenag |
Dalam konteks ini Rasulullah SAW bersabda: "Aku bagimu seperti seorang ayah bagi anaknya. Aku mengajari kalian…."
Hadis riwayat Ibnu Mâjah ini menjelaskan bagaimana Rasulullah SAW memosisikan dirinya di hadapan para sahabat ketika ia mengajari sesuatu. Sekaligus juga mengajarkan sikap yang seharusnya dimiliki seorang guru dalam mendidik muridnya.
Berkaitan dengan sikap guru, Imam Ghazali menyebutnya sebagai kewajiban guru. Pertama, guru harus membagikan kasih sayang terhadap muridnya serta memperlakukan mereka sebagaimana perlakuan terhadap anak-anak kandung mereka.
Kedua, mengikuti teladan Rasulullah SAW, yakni tidak mengajar untuk mencari upah atau imbalan, baik berupa materi maupun ucapan terima kasih. Ketiga, tidak bosan untuk memberi nasihat kepada muridnya.
Keempat, hendaknya memberi peringatan kepada murid yang buruk perangainya dengan menyingkapnya semaksimal mungkin tapi tidak terang-terangan. Dengan kasih sayang, bukan dengan kecaman.
Kelima, guru harus melaksanakan ilmunya. Artinya, perbuatannya tidak berlawanan dengan apa yang diajarkan.
Baca:Penyesalan Tentara Mesir Tidak Bisa Bantu Gaza Lawan Israel |
Selanjutnya, karena hubungan guru-murid itu diumpamakan hubungan seorang ayah dengan putranya, maka sebagaimana layaknya anak-anak dari seorang ayah dalam suatu keluarga, masing-masing dituntut untuk saling menyayangi dan saling tolong-menolong guna mencapai berbagai tujuan yang diidamkan. Demikian juga halnya dengan murid atau santri dari suatu lembaga perguruan yang sama dengan guru yang sama, pula hendaknya bisa menciptakan suasana tersebut.
Semoga kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar ke Pesantren Darunnajah Jakarta dapat menginspirasi para pendidik menghidupkan kembali sikap dan sifat kebapakan mereka dalam mendidik putra-putrinya, maksudnya murid-muridnya.[]