Deretan pasukan Mesir yang siap tempur. Foto: AFP
Deretan pasukan Mesir yang siap tempur. Foto: AFP

Penyesalan Tentara Mesir Tidak Bisa Bantu Gaza Lawan Israel

Medcom • 21 Juni 2024 06:28
Kairo: Tentara Mesir Mohamed Omar (23) merasa tidak berdaya sejak serangan Israel terhadap negara tetangga Gaza pada Oktober 2023.
 
Mengutip Middle East Eye (MEE), Omar telah bertugas sebagai petugas patroli di Sinai Utara Mesir, sepanjang perbatasan dengan Rafah Gaza selama setahun terakhir. 
 
Wilayah tersebut merupakan bagian dari zona demiliterisasi berdasarkan perjanjian keamanan antara Mesir dan Israel, hanya tentara bersenjata ringan yang diizinkan ditempatkan di sana.

“Sungguh menyakitkan mengetahui bahwa Anda dapat membantu, tetapi Anda dibelenggu dan tidak dapat membantu menyelamatkan rakyat Anda dari pembantaian,” tuturnya kepada MEE saat cuti di Port Said sebagai tujuan istirahat tentara sebelum berangkat ke unit mereka di Sinai Utara, pada Kamis, 20 Juni 2024.
 
“Kami telah menyaksikan dan mendengar betapa hebatnya pengeboman Israel di Rafah. Kami melihat puluhan keluarga Palestina melewati perbatasan,” jelasnya.
 
Sejauh ini, perang Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 37.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
 
Mesir merupakan sekutu Israel sejak perjanjian perdamaian tahun 1979 yang telah mempertahankan sikap non-konfrontatif terhadap Israel sejak awal permusuhan pada bulan Oktober.
 
Bahkan, Mesir dan tentara Israel merebut perbatasan strategis Rafah di bulan Mei dan tewasnya sejumlah orang, setidaknya dua tentara terlibat bentrokan bersenjata pada awal bulan ini.
 
“Kami berlatih siang dan malam, serta mengulangi nyanyian melawan musuh Zionis. Kami mendengar buletin khusus yang menyombongkan betapa siapnya militer,” ujar Omar.
 
“Namun ketika musuh ini membunuh ribuan saudara, kami hanya diam saja,” lanjutnya.
 
Sebagian besar, lima tentara Mesir termasuk Omar menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap cara pemerintah menangani perang di Gaza dan pembunuhan rekan-rekan mereka di perbatasan Israel.
 
Prajurit muda tersebut menganggap dirinya dan rekan-rekannya sebagai ‘pejuang elite’ terlatih untuk bertahan dalam kondisi keras dan melawan sasaran yang canggih. Penambahan unitnya tampak telah diperkuat oleh unit-unit yang lebih elite dan terlatih dari divisi kontraterorisme di Sinai Utara dan Tengah sejak Oktober.
 
Sementara itu, Omar kehilangan dua rekannya dalam bentrokan dengan tentara Israel pada awal bulan ini. 
 
“Namun, kematian mereka tidak mendapat pengakuan dari tentara Mesir termasuk pimpinan seniornya dan Presiden Abdel Fattah el-Sisi,” ungkapnya.
 
Di tengah keheningan pihak berwenang Mesir, dua tentara dari Faiyum dimakamkan di kampung halaman mereka pada bulan lalu setelah tewas dalam bentrokan dengan pasukan Israel di dekat perbatasan Rafah.
 
Kedua tentara tersebut diidentifikasi sebagai Abdallah Ramadan (22) dan Ibrahim Islam Abdelrazzaq (22).
 
Meskipun ada simpati yang luas terhadap tentara yang terbunuh, mereka belum menerima pemakaman militer atau pengakuan tingkat tinggi dan media yang berhubungan dengan pemerintah belum melaporkan kematian mereka.  
 
Di sisi lain, Omar mengungkapkan tingkat semangat di unitnya rendah karena pembunuhan rekannya Abdallah Ramadan.
 
Saat itu, tentara tersebut bertugas di peleton yang berbeda dengan peleton yang bertugas di bulan Ramadhan. Ia mengatakan tanggapan pemerintah tidak sopan.
 
“Kenapa syahid Ramadhan tidak dihormati dan namanya tidak disebutkan, serta tidak ada petinggi di pemakamannya?” tanya Omar.
 
“Ketika polisi yang wajib militer berpangkat paling rendah terbunuh dalam kecelakaan mobil, mereka mendapatkan pemakaman militer dan Ramadan yang memerangi Zionis, dikuburkan secara diam-diam. Sayang sekali!” jelasnya.

Pengorbanan akan Sia-Sia

Omar mengatakan atasannya mencoba menenangkan mereka setelah kematian Ramadhan.
 
“Musuh mencoba menyeret kita ke dalam hal ini untuk membenarkan pembunuhan warga Palestina dan menggunakan ini sebagai propaganda dalam memberitahu dunia bahwa Israel diserang dari semua sisi,” jelasnya.
 
Alasan serupa juga disampaikan pada unit tempat Ahmed Tawfik (24) yang bertugas dalam infanteri mekanik di Ismailia. 
 
“Petugas urusan moral mengatakan kepada kami bahwa Mesir mendorong gencatan senjata, tetapi pemerintahan Netanyahu ingin mendorong Mesir ke dalam perang sehingga terus melakukan agresi terhadap negara-negara Arab dan Muslim,” jelas Tawfik.
 
Jika Tawfik ataupun Omar tewas dalam aksi di tengah situasi diplomatis yang rumit saat ini, mereka khawatir terhadap kematiannya akan sia-sia. 
 
“Saya khawatir jika saya syahid, darah saya akan sia-sia. Ramadhan meninggal dan tidak ada satu peluru pun yang ditembakkan untuk membelanya.”
 
Kemudian, Tawfik mengatakan bahwa semangat di unitnya rendah karena tentara juga memiliki ketakutan yang sama.
 
“Satu-satunya pemikiran yang membuat orang-orang ini menolak wajib militer adalah kemungkinan mereka akan mati sebagai martir atau mati demi tanah air mereka,” tuturnya.
 
“Jika pemerintah terus apatis, tentara tidak akan bisa menahan diri untuk tidak menembaki musuh seperti syahid Mohamed Salah,” tambah Tawfik.
 
Pada Juni lalu, seorang polisi Mesir Mohamed Salah (23) yang wajib militer telah membunuh tiga tentara Israel dan melukai dua lainnya. Kemudian, ia ditembak mati oleh pasukan Israel.
 
Sementara itu, seorang petugas medis di Sinai, Mostafa Marwan (25) yang sedang menjalani bulan-bulan terakhir tugasnya mengatakan dirinya berdoa agar Mesir tidak berperang. 
 
“Ribuan wajib militer yang Anda lihat di TV dalam parade militer, mereka bukanlah orang-orang yang akan berperang. Ada ribuan tentara yang tidak tahu cara menembak ataupun merawat sesama prajurit yang terluka,” ungkap Marwan.
 
Ia juga mengatakan para wajib militer ini hanya dilatih selama 45 hari di base camp dan membawa senjata yang disimpan sejak zaman Uni Soviet.
 
“Apa yang akan mereka lakukan menghadapi militer yang didukung oleh militer terkuat dan tercanggih di dunia?” kata petugas medis muda itu mengacu pada dukungan Amerika Serikat (AS) terhadap Israel. 
 
“Saya bukan pengkhianat, tapi kita harus realistis,” tegas Marwan.
 
Selain itu, petugas medis itu menambahkan sebagai tenaga medis militer hanya memiliki peralatan dasar, meski dirinya seorang ahli bedah serta atasannya kasar dan korup.
 
“Ada banyak cara untuk membantu warga Palestina, tetapi perang dengan militer Mesir bukanlah jawabannya,” tuturnya. 
 
“Saya tidak terkejut bahwa darah orang-orang di garis depan itu murah, tapi itulah akibatnya ketika semua darah orang Mesir menjadi murah,” jelas Marwan.

Terpaksa bertugas

Meskipun Marwan anti perang akibat ketidaksiapan militernya, seseorang yang bertugas di Kairo dalam peleton pertahanan udara bernama Tamer Samir percaya bahwa Mesir harus melakukan intervensi untuk membantu warga Palestina. Namun, ia tidak boleh berada di militer tersebut.
 
Menurut konstitusi Mesir, pria berusia 18 hingga 30 tahun harus bertugas di militer, setidaknya selama 18 bulan diikuti dengan wajib militer selama sembilan tahun apabila dipanggil untuk bertugas.
 
Setelah lulus dari universitas swasta internasional dan berasal dari keluarga kaya, Samir (22) menganggap wajib militer yang dilakukannya tidak masuk akal. 
 
“Orang-orang seperti saya yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan menguasai bahasa tidak boleh dipaksa untuk mengabdi dan berjuang karena kita dapat membantu membangun negara dengan cara lain seperti bisnis atau ekonomi,” jelasnya.
 
Melalui koneksi yang kuat, keluarga Samir bisa mendapatkan penempatan yang lebih tenang, tempat berpulangnya setiap malam dan hanya melakukan pekerjaan administratif. 
 
“Saya tidak begitu tahu banyak tentang perang dan politik, tapi menantikan untuk menyelesaikan pengabdian saya,” tutur pemuda tersebut.
 
Seperti Samir, banyak orang Mesir mencari koneksi untuk melewatkan atau menunda wajib militer. Selain itu, untuk mendapatkan layanan di kota-kota besar atau di cabang administratif serta bisnis angkatan bersenjata. 
 
Hal ini mengakibatkan banyak individu yang kurang mampu dan pemuda berpendidikan rendah berada di garis depan, di perbatasan atau berhadapan langsung dengan militan ekstremis.
 
“Di garis depan dan perbatasan, Anda hanya akan menemukan tentara dari latar belakang miskin (seperti) putra petani, pekerja, nelayan, dan orang miskin,” ujar seorang prajurit kontraterorisme di Sheikh Zuwied, Megahed Nassar yang datang ke Faiyum untuk menghadiri pemakaman Ramadhan.
 
“Abdallah Ramadan, Ibrahim Abdelrazzaq, Mohamed Salah, semuanya adalah anak-anak orang miskin. Mereka membayar nyawanya untuk negara dan pemerintah tidak melakukan apa pun dalam memperjuangkan hak-hak mereka atau bahkan membela mereka,” jelasnya.
 
Nassar juga mengatakan rata-rata wajib militer terpaksa mengabdi, miskin, tidak punya alternatif lain, dan tidak punya koneksi. Maka, mereka pergi ke Sinai dan melawan Israel ataupun militan ekstremis. (Theresia Vania Somawidjaja)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan