DALAM upaya mengenyahkan korupsi dari bumi Indonesia, kita sudah sepakat bahwa kejahatan itu memerlukan pemberantasan yang dilakukan secara luar biasa. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi menegaskan ini dalam poin menimbang.
Untuk itu pula, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dan menjadi ujung tombak perang melawan korupsi. Sejak 2004, tidak kurang dari 872 koruptor telah dieksekusi untuk menjalani hukuman. Kemudian, 831 pelaku sudah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Eksekusi sekaligus menunjukkan kepiawaian penyidik dan jaksa KPK untuk menghadirkan bukti-bukti yang kuat di pengadilan tentang praktik korupsi para pelaku. Tidak mudah mengumpulkan bukti-bukti seperti itu.
Kegigihan dan kecerdikan untuk mengungkap kasus korupsi harus dimiliki para penyidik dan jaksa agar koruptor tidak lolos dari jerat hukuman.
Namun, langkah KPK bukan tanpa cacat. Ada indikasi kesewenang-wenangan hingga cenderung mengabaikan hak asasi tersangka. Selama belasan tahun, KPK bisa menersangkakan orang tanpa batas waktu karena tidak berwenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang KPK kemudian memperbaiki celah kesewenangan itu dengan memberikan KPK kewenangan menyetop penyidikan dan penuntutan. Kewenangan itu lantas menjadi salah satu poin yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasilnya, MK menguatkan kewenangan itu dengan memperjelas bunyi pasal terkait sehingga memberikan kepastian hukum. Frasa 'terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)' ditambahkan ke Pasal 40 ayat (1) sehingga berbunyi, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhitung sejak diterbitkannya SPDP.
Untuk sampai pada keputusan tersebut, MK memperhatikan antara lain keterangan dari Pansus Hak Angket DPR RI bahwa ketika Taufiqurrahman Ruki menjabat Plt Ketua KPK, ada 36 tersangka yang bukti permulaannya tidak cukup.
MK tidak menyatakan Pasal 40 ayat (1) sepenuhnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Lembaga penegak konstitusi itu menyebut ketentuan SP3 harus dipandang sebagai dorongan bagi KPK untuk bekerja secara optimal dalam mendapatkan bukti. Pun, MK menilai diskresi penghentian penyidikan tidak menjadi pilihan yang menyulitkan KPK dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi.
Baca:Kasus RJ Lino Makan Waktu 5 Tahun, KPK Tegaskan Terus Bekerja
Saat ini ada salah satu tersangka KPK yang tengah memperjuangkan keadilan karena perkaranya tidak kunjung tuntas. Mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino telah ditetapkan tersangka selama lebih dari lima tahun dan perkaranya belum juga sampai ke pengadilan.
Bila didasarkan pada ketentuan Pasal 40 ayat (1), KPK semestinya mengeluarkan SP3 atas perkara RJ Lino. Bila kemudian mendapati bukti-bukti baru yang kuat, sesuai dengan ketentuan ayat (4), KPK dapat mencabut SP3 dan menyeret tersangka korupsi ke pengadilan.
KPK seyogianya senantiasa mengedepankan profesionalisme dan taat pada aturan perundangan. Dengan begitu, argumentasi komisi antirasuah tidak mudah baik dipatahkan di pengadilan maupun dikoreksi Mahkamah Agung hingga pelaku dapat keringanan hukuman atau bahkan terbebas.
*Editorial Media Indonesia, Selasa, 25 Mei 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di