Indra Maulana. Foto: Dok Pribadi
Indra Maulana. Foto: Dok Pribadi (Indra Maulana)

Fufufafa Sepak Bola Kita

Indra Maulana • 16 September 2024 09:23
DALAM sepekan kemarin, publik sepak bola Indonesia disuguhi dua peristiwa bertolak belakang: Sangat menggembirakan dan sangat menyedihkan.
 
Sangat menggembirakan karena Timnas Indonesia mampu menahan imbang Australia dalam laga kedua Putaran Ketiga Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026. Timnas Indonesia bahkan bukan sekadar menahan imbang tanpa gol, tapi dalam segi permainan juga.
 
Permainan menyerang Australia yang bercokol di peringkat 24 FIFA itu tidak membuat pertahanan Timnas kedodoran. Sesekali serangan balik Garuda mengejutkan pertahanan Australia. Bahkan, penampilan gemilang penjaga gawang Timnas, Marteen Paes, membuat dia diganjar Man of The Match. Jadi, hasil imbang itu bukan karena keberuntungan, namun memang layak disematkan kepada Timnas.
 
Agak sulit juga disebut keberuntungan karena Timnas sebelumnya bahkan berhasil menahan imbang Saudi Arabia di negaranya dengan skor 1-1. Bahkan, Timnas mencetak gol terlebih dahulu lewat sontekan Sandy Walsh. Ini memberikan harapan publik sepak bola Tanah Air untuk berani bermimpi, Indonesia akan masuk Piala Dunia. Namun, di tengah asa dan harapan itu, di pekan yang sama, publik bola Tanah Air harus disuguhi sebuah peristiwa yang menyedihkan. Klise sekaligus memalukan. Pertandingan cabang olahraga sepak bola antara Aceh melawan Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam Pekan Olahraga Nasional alias PON, diwarnai pemukulan terhadap wasit yang dinilai tidak adil dalam memimpin jalannya pertandingan.
 
Melihat rekaman detik-detik pemukulan yang viral karena tertangkap kamera, tergambarkan sekali betapa brutalnya sikap pemain tersebut. Tanpa ada babibu, perdebatan, ringan sekali tinju menuju wajah wasit.
 
Dari rekaman yang viral tersebut juga tergambar bagaimana pemain Aceh diduga melakukan diving sehingga wasit langsung menghadiahi tendangan penalti. Sikap ini memicu pemukulan terhadap wasit oleh pemain Sulteng.
 
Dari sini jelas pelaku pemukulan wasit salah. Jelas pula hukuman atau sanksi akan diterimanya. Soal wasit yang dinilai tidak adil, itu dilihat nanti dalam penyelidikan. Apakah ada dugaan 'sepak bola gajah' di sana? Mengingat Aceh adalah tuan rumah? Atau mungkin wasit yang tidak profesional, kurang mumpuni, atau justru wasit sudah benar?
 
Namun, yang lebih penting dari itu, adalah pertanyaan mengapa hal semacam ini, yang begitu basic, masih terjadi dalam sepak bola kita? Mengapa masih ada rendahnya mentalitas pesepak bola kita? Mengapa pula dia nekat melakukan pemukulan terhadap wasit?
 
Sayang sekali, saat kita semua ingin mendengar respons Ketua Umum PSSI, yang kita dapat justru pernyataan normatif. Bahwa pemain yang melakukan pemukulan wasit akan mendapat hukuman atau sanksi. Sebuah jawaban yang kita semua tentu sudah memahami itu.
Baca:PSSI Kecam Keras Kontroversi di Laga Perempat Final PON 2024

Tapi, apakah PSSI tidak mau melihat frame yang lebih lebar, mengapa peristiwa mendasar ini masih terjadi? Apakah PSSI merasa sudah cukup memberikan pembinaan komprehensif sepak bola di Tanah Air? Apakah PSSI sudah merasa cukup memfasilitasi dan membangun iklim kompetisi di berbagai level yang memicu meningkatnya kapasitas dan mentalitas pesepak bola kita? Apakah PSSI tidak merasa gundah bahwa sejatinya perkembangan sepak bola kita masih seolah-olah?
 
Hmm, sampai di sini cukup sensitif memang. Tapi untuk maju, kita harus berani otokritik. Apakah majunya sepak bola kita hanya diukur dari keberhasilan berbagai pertandingan internasional yang diikuti Timnas kita yang isinya adalah para pemain naturalisasi? Timnas yang sebagian besar pemainnya didatangkan dari luar karena ada 'darah' Indonesianya?
 
Owh, tentu tidak salah mendatangkan pemain-pemain tersebut. Toh, mereka juga punya yang namanya 'darah' Indonesia. Ketika mereka sudah memilih, mereka punya hak membela Timnas Indonesia.
 
Tapi bukankah kita sedang membahas pembinaan sepak bola dalam negeri kita. Apakah kualitas Marteen Paes adalah hasil kompetisi dalam negeri kita? Apakah ketangguhan sekaligus ketenangan defender Justin Hubner dan Jay Idzes adalah hasil dari persaingan liga-liga kita? Bagaimana dengan Ragnar Oratmangoen, Sandy Walsh, Rafael Struick? Jika bukan hasil dari kompetisi yang dibina oleh PSSI, tidak bisakah kita sebut bahwa perkembangan sepak bola kita masih seolah-olah. Simulakra dalam sepak bola kita.
 
Publik bola Tanah Air memang haus akan kemenangan dan prestasi Timnas. Namun, bukan berarti PSSI lantas mencukupkan torehan prestasi sepak bola diukur dari jalan instan semata.Sementara masalah mendasar tentang mentalitas, kapasitas, pemain, maupun wasit seperti meminjam yang sedang viral: Fufufafa, tak diakui keberadaannya.
 
Sekali lagi ini bukan anti-naturalisasi, sama sekali bukan. Kita ingin ada kualitas pemain sekaliber Paes, Hubner, Idzes, Walsh, Oratmangoen, atau Struick yang lahir dari liga-liga kita di dalam negeri pada semua level.[]
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar sepak bola Timnas Indonesia Kualifikasi Piala Dunia 2026

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif