Usman Kansong, Dewan Redaksi Media Group
Usman Kansong, Dewan Redaksi Media Group (Usman Kansong)

Usman Kansong

Ketua Dewan Redaksi Media Group

Politik Ketakutan Utang

Usman Kansong • 25 Juni 2021 05:33
SATU narasumber anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi mengatakan setiap bayi yang lahir di Indonesia langsung menanggung utang Rp13 juta. Dia mengatakan itu di acara bincang-bincang satu televisi di seputaran Pilpres 2019.
 
Saya yang waktu itu mewakili Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin di program bincang-bincang itu menjawab setiap bayi yang lahir di Indonesia punya aset Rp24 juta. Jika si bayi membayar utang yang Rp13 juta itu, asetnya masih tersisa Rp11 juta.
 
Anggota BPN itu kiranya tak menduga saya menjawab seperti itu. Ketika break, dia menyatakan kepada saya, dia tak akan mempersoalkan utang bila kelak ‘berdebat’ lagi dengan saya di televisi.
 
Perbincangan tentang utang seringkali tidaklah fair. Karena tidak fair, ia kiranya tidak pas bila dikatakan perbincangan, tetapi lebih berupa serangan. Ia semacam serangan politik ketakutan (politics of fears). Tidak menakut-nakuti perempuan Indonesia agar tidak melahirkan bayi, tetapi menakut-nakuti kita seolah Indonesia berada di tepi jurang kehancuran karena tak sanggup bayar utang. Badan Pemeriksa Keuangan mewanti-wanti agar pemerintah lebih hati-hati mengelola utang yang sudah mencapai Rp6.500 triliun lebih.
 
Besar utang pemerintah sudah melampaui sejumlah indikator berbagai lembaga internasional. BPK khawatir kemampuan pemerintah membayar utang di masa depan kian menurun. BPK menilai rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen atau jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR).
 
Padahal, standar IDR untuk rasio utang yang stabil berada di 92 persen-176 persen. Sementara itu, bila melihat rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF), itu berada di 90 persen-150 persen.
 
Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen juga telah melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 persen-35 persen. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen pun melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 persen-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7 persen-10 persen.
 
Apa yang disampaikan BPK tentu sebuah peringatan sangat baik bagi pemerintah. Pemerintah semestinya menyambut positif peringatan BPK itu. Pemerintah pantang menyepelekannya.
 
Celakanya, peringatan BPK itu menjadi semacam amunisi untuk ‘menyerang’ pemerintah. Serupa serangan di masa pilpres terhadap pemerintahan calon presiden petahana, respons sejumlah kalangan atas peringatan BPK itu berupa politik ketakutan akan utang.
 
Ada yang mengatakan kedaulatan Indonesia tergadaikan dan tersandera utang. Ada pula yang mengatakan Indonesia nyaris berada di dasar jurang. Pun ada yang mengatakan akan ada yang dijadikan kambing hitam dalam soal utang, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani.
 
Ini sungguh satu imajinasi kepagian. Memangnya zaman dahulu ketika Sri Mulyani ‘dikambinghitamkan’ menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia dalam perkara Century? Utang berbagai negara melonjak karena krisis ekonomi akibat pandemi covid-19.
 
Menkeu Sri Mulyani mengatakan di kawasan Asia rasio utang Filipina sebesar 37 persen naik menjadi 48,9 persen terhadap PDB, Thailand 41,1 persen menjadi 50,4 persen, Malaysia 57,2 persen menjadi 67,6 persen, Tiongkok 52,6 persen menjadi 61,7 persen, dan India 72,3 persen menjadi 89,3 persen. Utang negara-negara maju bahkan juga melonjak.
 
Sri Mulyani mencatat rasio utang Jepang naik dari 200 persen menjadi 266 persen terhadap PDB, Italia 134,8 persen menjadi 161,8 persen, Prancis 98,1 persen menjadi 118,7 persen, Inggris 85,4 persen ke 108 persen, Jerman 59,5 persen ke 73,3 persen, dan Amerika 100 persen menjadi 130 persen. Bandingkan dengan rasio utang kita terhadap PDB yang 41,18 persen per April 2021. Rasio utang itu masih di bawah yang diatur dalam undang-undang, yakni sebesar 60 persen dari PDB.
 
Dengan menyampaikan perbandingan rasio utang Indonesia dengan sejumlah negara kiranya kita tidak hendak memohon permakluman. Kita tetap mendorong negara baik-baik dalam mengelola utang. Kita hanya ingin siapa pun bersikap fair ketika memperbincangkan utang.
 
Toh, utang itu digunakan untuk pemulihan kesehatan, pemulihan ekonomi, dan bantuan sosial selama pandemi yang ujung-ujungnya untuk rakyat juga. Tidak fair kiranya mereka nyinyir soal utang kendati mereka ikut menikmatinya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Utang Luar Negeri politik Ekonomi Indonesia Podium

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif