Saya pun bergegas pulang. Sebelum sampai ke rumah, saya sempatkan mampir ke kedai jus dan memesan dua gelas jus alpukat. Satu untuk istri dan satu lagi untuk saya. Anak-anak? Tidak usah dulu lah hehehehe.
Keesokan harinya, saya kaget saat menemukan jus alpukat istri saya masih utuh di atas meja di dalam kamar.Segelas jus alpukat yang nikmat itu ternyata lupa dikonsumsi dan kini kondisinya memburuk. Jus yang tadinya berwarna hijau tersebut kini berubah kecoklatan dan bau masam. Tanda bahwa ia tidak bisa dikonsumsi lagi. Betapa sayangnya. Betapa mubazirnya.
Saya lalu menegur istri dan menasehatinya. Saya katakan bahwa sesuatu yang mubazir itu tidak baik karena pemborosan sama dengan menyia-nyiakan rezeki. Dalam pandangan agama kami pun, perilaku boros dan mubazir adalah perilaku yang dibenci Tuhan. Istri saya kemudian minta maaf dan berjanji untuk lebih hati-hati dalam soal makanan dan minuman.
Masalah jus alpukat yang tersia-siakan itu mungkin tampak sepele, jika kita hanya melihatnya dalam skala rumah tangga saya saja. Namun, jika kita melihatnya dengan skala yang lebih luas, maka perkara mubazir atau boros ini bisa menjadi persoalan besar. Jika satu rumah tangga memboroskan satu sendok nasi dalam sehari misalnya, maka berapa sendok nasi yang mubazir dalam skala RT. Kemudian berapa sendok nasi yang mubazir dalam skala RW, Kelurahan, Kecamatan, terus sampai skala Nasional. Jika penduduk Indonesia yang 268 juta jiwa ini masing-masing memboroskan satu sendok nasi dalam sehari, maka berapa ton nasi yang terbuang setiap hari? Berapa nilai ekonominya? Itu baru satu hari lho, dan bukan jus alpukat yang harganya lebih mahal daripada sesendok nasi.Sekitar 22 juta orang di Indonesia masih menderita kelaparan.
Indonesia posisi dua terboros makanan
Faktanya, dalam hal pemborosan makanan, Indonesia masih menempati posisi kedua di dunia versi foodsustainability.eiu.com dengan pemborosan 300 kg makanan per orang per tahun, di bawah Arab Saudi yang membukukan rekor 427 kg per orang per tahun. Kita mengungguli Amerika Serikat yang "hanya" memboroskan 277 kg makanan per orang per tahun. Luar biasa bukan?
Padahal di sisi lain, angka kelaparan di Indonesia masih masuk dalam kategori "serius" versi Global Hunger Index pada tahun 2019. Sekitar 22 juta orang di Indonesia masih menderita kelaparan. Jadi kita ini boros dalam hal makanan alias berlebihan, tetapi juga di satu sisi menjadi bangsa yang kelaparan. Kok bisa? Bingung ya? Sama!
Paradoks yang terjadi ini sesungguhnya bisa dihindari jika kita bijak dalam mengelola pola konsumsi kita. Misalnya saja saat Covid-19 merebak pertama kali, pemerintah berbagai negara, termasuk Indonesia, terpaksa memberlakukan karantina wilayah. Kebijakan ini tentu saja menimbulkan disrupsi pada rantai suplai makanan. Distribusi bahan-bahan pangan mengalami hambatan untuk beberapa waktu. Bahan-bahan pangan dari China misalnya, seperti bawang putih dan beberapa jenis buah-buahan, sempat distop oleh pemerintah saat itu.
Kini keran impor telah dibuka namun dibatasi. Kelangkaan komoditi bisa dihindari. Namun demikian, ancaman ketahanan pangan patut diwaspadai. Jika kita bisa berhemat dan tidak berlebihan dalam mengonsumsi makanan, tentu akan meringankan beban negara dalam menjaga ketersediaan bahan pangan dan memperkuat ketahanan pangan kita.
Baru-baru ini, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melalui akun @luhut.pandjaitan mengatakan bahwa meskipun indeks ketahanan pangan nasional Indonesia naik, nyatanya tidak selaras dengan ketahanan pangan mandiri kita. Sebab, masih ada peningkatan jumlah impor bahan pangan setiap tahun. Lebih jauh lagi, dia mengatakan bahwa meski bahan masih tersedia, namun krisis pangan global sudah mengintai dari jauh.Perilaku boros dan gaya hidup mewah sesungguhnya bisa menjadi pangkal berbagai masalah. Mulai dari korupsi hingga tindak kriminal lainnya.
Masalah boros sesungguhnya adalah masalah perilaku atau gaya hidup, dan ini tidak terbatas pada soal makanan saja. Penelitian Anggraini & Santhoso yang berjudul Hubungan antara Gaya Hidup Hedonis dengan Perilaku Konsumtif pada Remaja (Gadjah Mada Journal Of Psychology, 2017) mengungkapkan bahwa perilaku konsumtif memiliki korelasi positif dengan gaya hidup mewah atau hedonis.
Perilaku konsumtif
Perilaku konsumtif ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah banyaknya produk barang dan jasa di pasaran saat ini. Ini membuat pembelian dan pemakaian suatu barang terkadang bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan didorong karena adanya faktor keinginan yang kurang berguna.
Perilaku boros dan gaya hidup mewah sesungguhnya bisa menjadi pangkal berbagai masalah. Mulai dari korupsi hingga tindak kriminal lainnya. Seorang penegak hukum asal Indonesia menunaikan hasrat untuk menikmati makan mewah di resto berperingkat Michelin Star di New York. Padahal, gaji pokoknya hanya cukup untuk makan malam di resto lokal. Karena itu, tanpa ragu dia pun menerima gratifikasi dari seorang koruptor demi hasratnya.
Ada pula pejabat negara yang begitu mudah memilih helikopter untuk bepergian demi menghemat waktu. Padahal, selisih harganya bagai bumi dan langit jika dibandingkan dengan ongkos pesawat kelas ekonomi.
Jika kita pahami bahwa masalah boros dan gaya hidup mewah begitu besar dampaknya pada kehidupan kita, maka permintaan maaf, seperti yang istri saya lakukan tidaklah cukup. Sudah seharusnya kita berubah dan bersikap lebih tegas. Di beberapa negara Eropa seperti Prancis, Inggris, dan Jerman, pemborosan makanan telah menjadi isu domestik.
Prancis menjadi negara pertama di dunia yang melarang toko-toko swalayan membuang atau menghancurkan makanan yang tidak terjual, dan memaksa mereka untuk menyumbangkannya ke lembaga-lembaga sosial. Aturan ini resmi berlaku sejak tahun 2016. Bagi yang melanggar akan dikenakan denda sebesar 3.750 Euro.
Sedangkan Inggris dan Jerman saat ini sedang mempersiapkan kebijakan baru untuk mengatasi pemborosan makanan. Di Korea Selatan, seseorang yang tidak menghabiskan makanan yang dipesannya di restoran akan dikenakan biaya tambahan atas sisa makanannya tersebut. Indonesia kapan?[]
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.