Ya, tim nasional Indonesia bentukan PSSI gagal lagi, lagi, dan lagi. Skuad ‘Garuda’ terus saja menghadirkan duka karena kegagalan mereka untuk menjadi juara, sekalipun cuma di level Asia Tenggara.
Timnas kembali menjadi tim kalahan. Di Piala AFF edisi 2022, jangankan juara, untuk masuk final pun mereka tak memiliki kemampuan. Di babak semifinal, tim besutan Shin Tae-yong itu terjungkal. Mereka disingkirkan Vietnam dengan agregat 0-2. Setelah dipaksa imbang 0-0 di Senayan, Jumat, 6 Januari 2023, mereka kalah dua gol tanpa balas di Hanoi, Senin, 9 Januari 2023.
Meski bukan prestasi terburuk di antara yang buruk-buruk, hasil ini lebih buruk ketimbang raihan di gelaran sebelumnya. Pada Piala AFF 2020, Indonesia yang juga ditukangi Shin Tae-yong lolos ke final. Namun, sebatas itulah prestasi yang dibukukan. Trofi juara yang sudah menjadi impian publik sekian lama tetap saja sekadar asa. Betul bahwa sejak Piala AFF dihelat mulai 1996, Indonesia berulang-ulang menjadi runner-up. Setidaknya enam kali tim ‘Garuda’ menapaki partai pemungkas, yakni pada 2000, 2002, 2004, 2010, 2016, dan 2020. Namun, apalah artinya podium kedua. Bukan kah hanya juara yang merupakan prestasi tertinggi, bukan yang nyaris juara?
Di ajang SEA Games, kiprah timnas sami mawon. Sama-sama buruk, sama-sama memprihatinkan. Di ajang olahraga multievent se-Asia Tenggara itu, kesebelasan Indonesia terakhir kali menyabet emas pada 1991. Sudah lama, lama sekali. Kalau dihitung-hitung, sudah 32 tahun, lebih dari tiga dekade, kita puasa gelar.
Baca:Usai Timnas Indonesia Tumbang dari Vietnam, Tagar 'STYOUT' Menggema di Twitter |
Benar bahwa tim muda kita beberapa kali unjuk kegemilangan. Namun, apalah artinya juara junior, tetapi konsisten kalah di ajang senior. Di mana pun, barometer utama prestasi sepak bola sebuah negara ialah tim nasional, bukan tim kelompok umur.
Sepak bola konon olahraga yang paling digemari, paling populer, di negeri ini, tetapi prestasi timnas selalu dibenci. Negara ini punya penduduk 270 juta lebih, tetapi untuk mendapatkan 11 pemain andal susahnya tiga perempat mati. Itulah paradoksal sejak lama dan bertahan hingga sekarang.
Mengecewakan? Tentu saja. Namun, rasanya kekecewaan publik tak sedalam yang dulu-dulu lagi. Setidaknya di media sosial, tak terlalu banyak ekspresi kemarahan dan sumpah serapah seusai kekalahan timnas dari Vietnam. Mereka memang kecewa, tetapi kadarnya biasa saja.
Saya tidak tahu sikap publik yang sebenarnya. Bisa jadi mereka punya jiwa besar dalam menyikapi kenyataan yang ada. Mungkin pemakluman mereka sudah kelewat tinggi terhadap kemampuan timnas.
Namun, bisa jadi pula, mereka sudah antipati. Bodo amat, kata orang Betawi. Sabodo teuing, orang Sunda bilang. Terserah apa maunya, menang syukur kalau kalah emang gue pikirin.
Sudah biasa, itulah narasi bernada kepasrahan. Seorang teman bahkan memilih tidak menonton laga timnas kontra Vietnam. “Agar lisan selalu terjaga dari ucapan yang tak senonoh,” kata dia. Teman saya yang lain mengaku menyesal menyaksikan pertandingan itu. “Bikin dosa aja,” ucapnya.
Apa pun kondisinya, timnas butuh dukungan publik, perlu support suporter. Dukungan ialah pemantik motivasi ketika sedang di atas angin dan penyemangat di saat terpuruk. Jika publik mulai antipati, itu pasti pertanda buruk.
Kita tak bisa menyalahkan timnas sepenuhnya. Mereka sudah bermain, berjuang, sebatas kemampuan. Yang perlu kita persoalkan ialah PSSI. Kenapa kegagalan timnas seolah menjadi permanen, itulah yang harus mereka jawab.
Semua orang tahu, untuk mendapatkan timnas yang kuat perlu kompetisi hebat. Semua orang paham, agar timnas tangguh butuh pembinaan usia dini yang bermutu dan sustainable. Namun, apa yang sudah dilakukan PSSI? Pemeringkatan terbaru kompetisi di lingkungan Konfederasi Sepak Bola Asia bisa mengonfirmasi.
Dari 47 negara Asia, Liga 1 yang merupakan kompetisi strata tertinggi Indonesia terdampar di urutan ke-26. Di zona Asia Tenggara juga bapuk di posisi ketujuh, kalah ketimbang Thailand, Australia, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Singapura.
Acap kali timnas gagal di turnamen bergengsi, PSSI selalu petah lidah dengan mengatakan pemain sudah memberikan yang terbaik. Pengurus terbiasa pula menjawab bahwa kegagalan ini ialah pelajaran berharga. Jawaban itu baku, klise, dan membosankan. Jawaban itu lebih pada pembenaran dari kesalahan akut.
Kegagalan memang hal yang biasa. Namun, kegagalan yang terus terulang tanpa ada kepastian kapan bersulih menjadi kesuksesan bukanlah hal yang biasa. Kongres Luar Biasa (KLB) pada 16 Februari nanti kiranya menjadi momentum luar biasa untuk perubahan luar biasa di PSSI.
Jangan pilih orang yang itu-itu saja, yang berpuluh-puluh tahun bercokol di PSSI, tetapi tak tahu diri. Jangan pilih pengurus dan komite eksekutif karena uang, yang hanya mencari cuan di PSSI karena hasilnya pasti mengecewakan.
Semoga pemilik suara mengedepankan nurani agar timnas kita tak gagal maning, gagal maning. Masalahnya, masih bisakah kita berharap kepada mereka?