Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. MI/Ebet
Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. MI/Ebet (Abdul Kohar)

Abdul Kohar

Dewan Redaksi Media Group

Menengok Tiongkok

Abdul Kohar • 18 Januari 2023 05:35
KEMISKINAN di Indonesia sudah serupa kerak nasi: kering dan sulit diangkat. Apalagi kemiskinan ekstrem, tingkat ‘kekerakan’ dan ‘kekeringannya’ sudah sangat akut.
 
Rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), awal pekan ini, mengonfirmasi hal itu. BPS mencatat jumlah orang miskin di Indonesia bertambah 200 ribu orang menjadi 26,36 juta pada September 2022, di tengah langkah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.
 
Tingkat kemiskinan naik dari 9,54% pada Maret 2022 menjadi 9,57% pada September 2022. Meski demikian, bila dibandingkan dengan kondisi setahun sebelumnya (September 2021), jumlah orang miskin pada September 2022 turun 140 ribu orang.
 
Data itu meneguhkan dua hal. Pertama, upaya membebaskan orang dari belenggu kemiskinan di negeri ini ternyata masih amat sulit. Kedua, sifat kemiskinan di Indonesia sangat rentan. Orang yang baru dinyatakan sudah mentas dari kemiskinan bisa kembali miskin hanya dalam hitungan bulan. Sejak Indonesia merdeka, nyatanya belum semua orang di Republik ini merdeka dari kemiskinan. Saban rezim berganti, saban itu pula resep membebaskan rakyat dari kemiskinan dijanjikan. Hasilnya mirip, belum sepenuhnya seluruh rakyat terbebas dari kemiskinan.
 
Saya tidak mau memvonis semua rezim itu tidak sungguh-sungguh. Namun, saya menduga, hampir semua rezim tidak mampu membongkar akar kemiskinan. Malah, masih ada jajaran pemerintah yang menganggap masalah kemiskinan muncul karena problem kultural: malas, tidak inovatif, dininabobokkan alam, dan sejenisnya.
 
Padahal, problem kemiskinan kita ialah soal struktural. Ada aturan yang tidak sungguh-sungguh memihak. Ada keadilan, tapi belum benar-benar tegak. Belum tercapainya inklusivitas di bidang ekonomi. Ada akses ekonomi yang senjang di antara anak bangsa satu dan lainnya.
 
Jenis kemiskinan struktural seperti itu tentu tidak cukup dengan satu atau dua pendekatan. Kalau cuma mengandalkan satu resep, tingkat kerentanan orang miskin tidak akan beranjak. Ada penaikan harga BBM, tarif listrik, harga gas, apatah lagi kenaikan harga bahan pokok, pasti mereka jatuh kembali ke kubangan kemiskinan.
 
Saya jadi iri dengan kisah Tiongkok dalam membebaskan negeri itu dari kemiskinan. Di harian ini, mantan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian mengisahkan bagaimana ‘Negeri Tirai Bambu’ itu mampu membebaskan 750 juta rakyat Tiongkok dari kemiskinan. Pada 25 Februari 2021, Tiongkok mendeklarasikan bahwa 98,99 juta warga perdesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan telah bisa seluruhnya diatasi dari kemiskinan.
 
Dengan demikian, Tiongkok telah menyelesaikan tugas berat menghapuskan kemiskinan absolut di seluruh negeri. Tiongkok telah mengentaskan 750 juta orang dari kemiskinan. Prestasi itu menjadikan Tiongkok sebagai negara yang berhasil mengentaskan jumlah penduduk miskin terbesar dan telah mengontribusikan lebih dari 70% pengurangan kemiskinan di seluruh dunia.
 
Ada sejumlah cara. Tentu tidak semuanya kompatibel buat negeri ini. Namun, setidaknya ada sejumlah hal yang bisa ditiru. Xiao Qian menulis, total ada 255 ribu regu kerja perdesaan, dengan 3 juta lebih kader partai dan sekretaris pertama partai, telah dikerahkan ke daerah-daerah perdesaan garis depan pertempuran melawan kemiskinan.
 
Yang kedua ialah menjadikan rakyat sebagai fokus utama. Dalam satu dekade terakhir, pemerintah Tiongkok dari semua tingkatan telah mengucurkan total hampir 1,6 triliun yuan (sekitar Rp3.520 triliun) dana anggaran khusus program pengentasan rakyat dari kemiskinan dan menyalurkan 9,2 triliun yuan (sekitar Rp20.240 triliun) kredit finansial bagi program pengentasan rakyat dari kemiskinan yang tepat sasaran.
 
Ketiga, mobilisasi segenap masyarakat dengan membentuk sistem pengentasan rakyat dari kemiskinan yang melibatkan partisipasi masyarakat. Provinsi-provinsi dan kota-kota yang lebih makmur di Tiongkok Timur memberikan dukungan bagi provinsi dan daerah otonom di Tiongkok Barat. Selain itu, instansi partai dan badan pemerintah di tingkat pusat, partai-partai demokratis, organisasi rakyat, perusahaan negara, dan tentara rakyat digerakkan untuk membantu kabupaten-kabupaten kategori miskin.
 
Berikutnya ialah partisipasi aktif dari perusahaan swasta, organisasi publik, dan individu warga negara untuk menjajaki dan membuka berbagai jalur pengentasan rakyat dari kemiskinan, di antaranya melalui sektor industri, teknologi, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, dan konsumsi.
 
Keempat, menggencarkan pembangunan untuk mencabut akar kemiskinan dengan mengadopsi strategi berorientasi pada pembangunan. Dalam hal itu, ditingkatkan anggaran untuk sektor pendidikan serta mereka berupaya menggabungkan program pengentasan rakyat dari kemiskinan dengan penumbuhan motivasi dan intelektualitas di kalangan masyarakat.
 
Dengan demikian, akan terjadi perubahan dalam skema pemberian bantuan, dari ‘memberi ikan’ menjadi ‘memberi pancing’. Tiongkok membina daerah miskin dan warga miskin untuk mengembangkan kekuatan produksi, meningkatkan kesadaran mereka untuk mengejar kemakmuran, serta memberdayakan kemampuan mereka untuk mengembangkan diri.
 
Kelima, pengentasan rakyat dari kemiskinan yang tepat sasaran. Pada 2013, Presiden Xi Jinping meluncurkan konsep ‘pengentasan rakyat dari kemiskinan yang tepat sasaran’. Tiongkok menghabiskan waktu satu tahun lebih untuk meregistrasi setiap desa miskin dan setiap rumah tangga miskin kemudian membentuk sistem jaringan informasi pengentasan rakyat dari kemiskinan berskala nasional. Kebijakan yang tepat sasaran diimplementasikan dalam hal penerima program, perencanaan proyek, dan penggunaan dana.
 
Setiap rumah tangga miskin dijamin menerima bantuan, setiap desa mendapatkan pejabat khusus untuk melaksanakan program mengatasi kemiskinan, dan target-target program dicapai berdasarkan standar yang telah ditentukan. Pelaksanaan semua kebijakan tepat sasaran itu merupakan jaminan untuk memerangi kemiskinan sampai ke akarnya.
 
Kita jangan malu untuk belajar. Ada kata bijak menyebutkan uthlubul ‘ilma walau bisshin, belajarlah walau ke negeri China (Tiongkok).
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Tiongkok kemiskinan Kemiskinan Ekstrem Kemiskinan Ekstrem di Desa

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif