Mahfud MD, Menko Polhukam, berbicara soal membeli lembaga survei saat gala dinner Munas Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang digelar pada 25 November 2022. Kata dia, saat ini semua orang bisa membeli lembaga survei. Seorang tokoh bisa membayar lembaga survei untuk memunculkan namanya dalam survei.
Persoalan lembaga survei bisa dibeli menjadi isu sangat serius karena diungkapkan Mahfud MD yang dikenal sebagai pemimpin berkarakter kuat, tegas, lugas, dan bergerak cepat dalam setiap tindakan.
Sosok Mahfud MD, dalam deskripsi Prof Ikrar Nusa Bhakti pada 8 Desember 2009, ialah seorang yang bersedia mempertaruhkan posisi jabatannya demi keadilan di negeri ini. Atas dasar itulah mesti diberi perhatian serius perihal lembaga survei bisa dibeli. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-VII/2009 bisa dijadikan rujukan. Disebutkan bahwa survei dapat dilakukan oleh lembaga yang independen yang tidak terikat kepada salah satu kontestan politik peserta pemilu, tetapi dapat juga merupakan bagian atau atas permintaan (pesanan) salah satu peserta pemilu.
Oleh karena itu, menurut MK, di Amerika Serikat misalnya, survei merupakan bagian dari kampanye pemilu. Di Indonesia, sebagaimana dapat disimak dari ketentuan dalam UU 10/2008, survei tidak merupakan bagian dari Kampanye (Bab VIII), tetapi masuk Bab XIX tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilu, sehingga lembaga survei dituntut untuk independen.
“Terlepas dari apakah survei dan lembaga survei merupakan bagian dari strategi kampanye peserta pemilu atau independen, sebagai suatu kegiatan ilmiah, kegiatan survei, dan lembaga survei harus tetap mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku dalam survei yang dapat diketahui publik,” demikian putusan MK dalam pertimbangan hukumnya.
Lembaga survei yang menjadi bagian dari strategi kampanye disebut sebagai konsultan politik. Fenomena itu sebagai konsekuensi logis perubahan politik sejak 2004, yaitu pejabat publik dipilih langsung oleh rakyat. Dipilih langsung mulai anggota DPR, DPRD, DPD, wali kota, bupati, gubernur, hingga presiden. Sejak saat itu muncul kebutuhan partai dan kandidat akan tenaga profesional yang bisa membantu mereka memenangi pemilihan. Pada sisi lain, lahir politik berbiaya selangit yang mendorong pejabat publik melakukan korupsi.
Politik pencitraan itulah yang membuat ongkos politik semakin mahal. Berdasarkan survei Komisi Pemberantasan Korupsi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota sebesar Rp30 miliar. Sementara itu, calon gubernur membutuhkan modal Rp100 miliar.
Sejauh ini, tidak ada regulasi yang jelas terkait dengan pendirian lembaga survei. Regulasi yang ada hanya terkait dengan penghitungan cepat pada saat pemilu yang diterbitkan Komisi Pemilihan Umum.
KPU sudah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2022 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (2) PKPU 9/2022, lembaga survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat harus memenuhi persyaratan berbadan hukum di Indonesia, bersifat independen, mempunyai sumber dana yang jelas, dan terdaftar di KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah kegiatan survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat.
Baca juga:Survei Terkait Kepuasan Menteri Tak Bisa Jadi Patokan Kinerja |
Kiranya perlu dipertimbangkan untuk menerbitkan regulasi terkait dengan pendirian lembaga survei sebab lembaga survei telah menjelma menjadi bisnis yang menggiurkan dan banyak bermunculan setiap menjelang pemilu. Sejumlah lembaga survei terus aktif merilis nama-nama yang kerap kali masuk bursa capres atau terkait dengan partai politik yang lolos ambang batas parlemen.
Kegiatan survei yang dilakukan jauh-jauh hari menjelang pemilu itulah yang patut diduga bisa dibeli. Metodologi bisa saja dimanipulasi sehingga muncul nama-nama baru yang menduduki peringkat teratas elektabilitas capres.
Regulasi yang mengatur lembaga survei jangan sampai membatasi kegiatannya. Cukup mewajibkan lembaga survei berhimpun dalam asosiasi yang mengawasi pelaksanaan kode etik.
Putusan MK Nomor 9/PUU-VII/2009 jelas menyebutkan kegiatan survei atau perhitungan cepat tentang hasil pemilu merupakan kegiatan berbasis ilmiah yang juga harus dilindungi dengan jiwa dan prinsip kebebasan akademik-ilmiah dan kebebasan mimbar akademik-ilmiah.
Benarlah kata Arterton F Christopher bahwa jajak pendapat atau survei ialah ilmu dan sekaligus seni. Penyusunan sampel dan angket, penyediaan perlengkapan survei, serta analisis hasilnya merupakan ilmu penelitian pendapat publik berdasarkan metode dan teknik yang sudah mantap dan absah, sedangkan seninya terletak dalam penyusunan pertanyaan dan pilihan kata yang dipakai dalam pertanyaan.
Survei bukanlah seni untuk memanipulasi hasilnya sehingga bisa dibeli.