SATU per satu sahabat, saudara, kerabat dekat, pergi tanpa kembali. Ratusan ribu nyawa anak bangsa melayang karena korona. Akan tetapi, empati belum sepenuhnya terjadi. Masih ada saja yang tak percaya bahwa virus berbahaya itu nyata.
Dalam beragam kanal media sosial saya masih kerap menyaksikan para covidiot (istilah yang saya pinjam dari Editorial Media Indonesia untuk menyebut para penyangkal covid-19) memproduksi, mengirim, dan mengedarkan kabar palsu soal covid-19. Produksi dan penyebaran informasi palsu itu makin masif saat ada pengetatan kebijakan terkait dengan korona.
Dalam beragam pesan palsu itu, para covidiot ada yang menyebutkan covid-19 ini konspirasi Yahudi dan Tiongkok. Ada pula yang menuduh pemerintah telah berbuat zalim karena mengungkung rakyatnya.
Sebagai bangsa, kita seperti sedang mengonfirmasi telaah Gunnar Myrdal lima dasawarsa silam. Lewat bukunya Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nation, ekonom Swedia peraih Nobel itu menyebut bangsa yang sukar maju umumnya karena ‘tenggelamnya’ etos kerja.
Etos rendah tersebut, kata Myrdal, terjadi karena banyak hal. Namun, ada beberapa yang menggambarkan persis seperti yang terjadi di negeri ini: disiplin rendah, kerap irasional dalam mengambil keputusan dan tindakan, tidak tulus dan tidak saling percaya, tidak mampu bekerja sama, dan tak ada visi jauh ke depan.
Beragam survei pada awal tahun ini menunjukkan betapa disiplin dan saling percaya masih teramat mahal di negeri ini. Hasil survei Parameter Politik Indonesia, misalnya, menunjukkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan dalam mencegah virus covid-19 baru sebesar 54,8%. Kondisi tersebut dinilai terjadi karena masyarakat semakin jenuh dan kurang peduli dengan pandemi korona.
Secara rinci, survei pasa Februari 2021 itu menjabarkan responden yang sering memakai masker saat ke luar rumah mencapai 59,4%. Sebanyak 37,4% responden jarang menggunakan masker ketika keluar rumah. Sebanyak 60,6% responden mengaku sering mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Namun, ada 36,9% responden yang jarang melakukannya.
Dari 1.200 responden, yang menyatakan sering menjaga jarak saat beraktivitas di luar rumah hanya 33,1%. Sebanyak 63,8% responden mengaku jarang menjaga jarak ketika beraktivitas di luar rumah.
Pada saat bersamaan, Satuan Tugas Penanganan covid-19 mencatat masih ada 79 kabupaten/kota yang memiliki tingkat kepatuhan memakai masker di bawah 60%. Sebanyak 75 kabupaten/kota tercatat memiliki tingkat kepatuhan memakai masker di rentang 61%-75%. Sebanyak 144 kabupaten/kota memiliki tingkat kepatuhan memakai masker sebesar 76%-90%, sedangkan 106 kabupaten/kota memiliki tingkat kepatuhan memakai masker sebesar 91%-100%.
Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memaparkan masyarakat baru disiplin bila ada sanksi dan tindakan yang dipertegas. Bukan karena kesadaran. Hal itu diakui 46% responden DKI Jakarta dan 45,5% responden DI Yogyakarta.
Kita ingin angka-angka itu bisa segera kita patahkan. Sayangnya, disiplin mematuhi protokol kesehatan masih seperti menegakkan benang basah. Susah setengah mati, bahkan sudah susah tiga per empat mati.
Kita tengah ‘memanen’ kepedihan akibat banyak menanam ketidakpedulian dan penyangkalan. Ledakan kasus varian delta virus korona membuat fasilitas kesehatan nyaris kolaps. Oksigen pun menjadi rebutan. Berdasarkan data PATH, Indonesia membutuhkan 868.202 meter kubik oksigen per hari hanya untuk pasien covid-19 hingga Kamis, 1 Juli 2021. Jumlah itu setara dengan lebih dari setengah kebutuhan oksigen Asia Tenggara.
Semua data, fakta, kondisi riil di lapangan sudah tersedia. Sekarang terserah kita: terus-menerus menabur informasi palsu bahwa covid-19 tidak berbahaya, atau setop menyangkal dan bekerja sama menaklukkan korona.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Abdul Kohar
Dewan Redaksi Media Group

