Begitu banyaknya pelaku usaha yang harus gulung tikar karena terdampak pandemi. Jumlah pengangguran pada Agustus 2020 bertambah 2,67 juta orang, sehingga jumlah total pengangguran menjadi 9,77 juta orang. Sebuah angka yang fantastis sebagai beban pemerintah untuk bisa mengatasinya.
Beban pemerintah terasa sangat lebih berat lagi karena pertumbuhan ekonomi yang minus 3,49 persen pada triwulan ketiga 2020 menggiring kita memasuki resesi sejak November 2020. Kementerian Keuangan mencatat adanya defisit APBN sepanjang 2020 sebesar Rp956,3 triliun, yang menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani disebabkan salah satunya oleh realisasi penerimaan pajak meleset akibat pandemi.
Dalam rilis informasi APBN 2021, pemerintah kembali mencatat defisit APBN sebesar Rp1.117,4 triliun. Kondisi-kondisi ini 'memaksa' pemerintah untuk kembali melaksanakan kebijakan pembiayaan utang untuk menutupi defisit APBN tersebut. Terlepas dari tidak kreatifnya pemerintah dalam mengatasi defisit anggaran, inilah kondisi Indonesia saat ini. Namun, beban pemerintah belum selesai pada pandemi, resesi, dan utang. Alam merespon apa-apa yang telah menjadi kebijakan pemerintah selama ini terkait kandungannya. Batu bara dan sawit yang seksi dalam bentuk angka dan mata uang telah membutakan segelintir oknum penumpuk kapital untuk kemudian mengabaikan kondisi lingkungan.
Perubahan ekosistem yang tidak dibarengi dengan kearifan dan kepekaan akan lingkungan berujung pada bencana pada sisi manusia, namun semata-mata keseimbangan pada sisi alam. Data 66.768 rumah terendam, 18.294 meter jalan terendam, dan 21 jembatan rusak akibat banjir di Kalimantan Selatan telah berbicara. Eksploitasi kekayaan alam selama bertahun-tahun telah direspon balik oleh si pemilik. Kita sebagai manusia harus menerima akibatnya.
Butuh kerja raksasa
Di tengah kondisi pandemi, resesi, utang, dan kerusakan lingkungan saat ini, Indonesia membutuhkan satu terobosan besar. Sebuah kerja raksasa yang mampu menjadi solusi alternatif bagi rezim berkuasa, agar tidak terjebak pada skenario pembiayaan defisit anggaran yang itu-itu saja. Indonesia harus mampu keluar dari labirin utang yang terus meningkat dari tahun ke tahun.Kita tidak bisa berlindung di balik UU yang menyatakan rasio utang kita masih berada di batas aman. Aman bagi siapa? Bagi generasi kita saat ini mungkin, tapi bagaimana dengan generasi setelah kita? Sepatutnya kita ingat bersama bahwa bumi bukanlah warisan tetapi pinjaman dari anak-cucu kita. Untuk itu kita harus menjaganya dengan baik. Kita harus kreatif untuk bisa menjadi bangsa yang solutif. Begitu kata Bu Tejo.
Lalu apa yang bisa kita tawarkan kepada pemerintah sebagai solusi? Ada banyak sebenarnya, namun tidak mungkin dibahas semua. Salah satunya adalah transformasi shadow economy. Bagi Anda yang belum mengenal shadow economy, berikut adalah definisinya menurut Schneider dan Enste (2000): "Semua aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap perhitungan Produk Nasional Bruto maupun Produk Domestik Bruto, tetapi aktivitas tersebut sama sekali tidak terdaftar."
Pendeknya adalah segala kegiatan ekonomi yang tidak membayar pajak. Shadow economy meliputi kegiatan prostitusi, transaksi narkoba, perjudian, illegal logging, penyelundupan, dan segala transaksi barang dan jasa yang legal secara hukum namun tidak dilaporkan pajaknya.Shadow economymeliputi kegiatan prostitusi, transaksi narkoba, perjudian,illegal logging, penyelundupan, dan segala transaksi barang dan jasa yang legal secara hukum namun tidak dilaporkan pajaknya.
Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa shadow economy di Indonesia menjadi biang keladi dari kegagalan pemerintah mencapai target pajak pada 2018. Besarnya perputaran uang di dalam shadow economy ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurut laporan The Global Economy pada 2015, shadow economy Indonesia berada di peringkat 108, dengan nilai transaksi 21,76% dari PDB.
Jika pada 2015 PDB kita mencapai 860,9 miliar dolar, maka nilai shadow economy kita saat itu sekitar 187,1 miliar dolar atau senilai Rp2.625 triliun. Hampir senilai dengan APBN selama dua tahun berjalan. Luar biasa bukan?
Transformasi shadow economy, dari ilegal menjadi legal, dari tidak membayar pajak menjadi terdaftar dan taat pajak, sesungguhnya bukan hal baru di Republik ini. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pernah menjalankannya pada periode tahun 70-an dengan melokalisasi perjudian dan memungut pajak darinya. Hasil dari pajak tersebut kemudian digunakan untuk pembangunan ibukota Jakarta yang hasilnya bisa dinikmati hingga saat ini. Fakta ini merupakan preseden positif yang patut kita cermati bersama.
Legalitas ganja
Pertanyaan selanjutnya adalah sektor shadow economy yang manakah yang akan kita transformasikan? Apakah kembali kita akan melegalkan perjudian seperti Bang Ali dulu? PBB telah menunjukkan jawabannya. Pada Desember 20202 lalu, Komisi PBB untuk Narkotika (CND) telah mengeluarkan tanaman ganja dari Golongan IV menjadi Golongan I melalui voting yang diikuti oleh 53 negara. Dengan demikian, maka ganja (cannabis sativa) tidak lagi dianggap sebagai tanaman yang berbahaya bagi kesehatan dan disetujui untuk keperluan medis, namun tetap dalam kontrol yang ketat.Ini seharusnya bisa menjadi momen pemerintah untuk melakukan transformasi shadow economy di sektor narkoba jenis ganja. Di dunia saat ini tercatat tidak kurang dari 15 negara yang telah melegalkan ganja. Mulai dari Uruguay, Kanada, Belanda, Inggris, hingga Amerika Serikat. Di AS sendiri saat ini bergulir isu untuk melegalkan ganja di level nasional (federal).
Ekonomi AS yang dihantam krisis akibat pandemi Covid 19 digambarkan mirip dengan kondisi saat The Great Depression pada 1930-an. Kris Krane, kontributor senior Forbes, menyatakan bahwa legalisasi ganja merupakan kunci untuk pemulihan ekonomi di AS saat ini dengan proyeksi pendapatan dari pajak sebesar 128 miliar dolar dan 1,6 juta lapangan kerja baru.
Kita bisa mengikuti jejak AS dan mendapatkan pemasukan bagi negara secara lebih optimal dan membuka lapangan kerja yang baru. Kita juga bisa membuka akses wellness tourism yang terkait dengan ganja seperti yang dilakukan oleh Jamaika dan Thailand.
MMGY global, sebuah lembaga pemasaran internasional, merilis sebuah laporan mengenai pariwisata pada Juli 2020 lalu, yang isinya menyatakan bahwa 29% turis global tertarik dengan cannabis-related tourism. Tentu saja bukan berarti menjadikan ganja legal dan bisa dikonsumsi dengan bebas oleh siapa saja dan kapan saja. Harus ada aturan yang jelas dan tegas yang mengatur peredaran dan konsumsi ganja di Indonesia.
Legalnya ganja juga merupakan jalan pembuka bagi industri farmasi nasional untuk mengembangkan riset mengenai ganja dan segala derivatif-nya. Dengan segala potensi yang dimilikinya, Indonesia sudah sepatutnya menjadi role player di level global. Indonesia memiliki sejarah panjang soal ganja, mulai dari Aceh, Jawa, hingga Ambon.
Ganja banyak digunakan sebagai obat herbal dan bumbu masak pada masa lampau. Kita juga memiliki lahan yang luas dan baik untuk bisa menghasilkan ganja yang berkualitas. Usulan Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS Rafli Kande mengenai ekspor ganja patut dipertimbangkan ulang oleh pemerintah dalam konteks transformasi shadow economy untuk pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi covid-19.[]
*Riyo Disastro adalah karyawan swasta yang kerap menulis analisis ekonomi

