Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia hingga Oktober 2020 hanya 3,72 juta kunjungan, turun 72.35% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019. Jumlah ini pun didominasi oleh kunjungan melalui pintu darat, seperti kunjungan dari Timor Leste dan Malaysia. Tingkat penghunian kamar hotel berbintang mengalami penurunan drastis pada Oktober 2020. Tercatat, angka huni hotel hanya 37,48% atau turun 19,29 poin dibandingkan dengan Oktober 2019.
Penurunan tertinggi terjadi di Bali dengan 53,77 poin atau hanya sekitar 9,53%. Data Google Mobility Index menunjukkan dengan jelas. Mobilitas kegiatan masyarakat di taman, tempat transportasi, serta tempat wisata di Bali masih turun hingga rentang 40-60% dibandingkan pada Januari 2020. Survei dampak covid-19 terhadap pelaku usaha oleh BPS menunjukkan bahwa sektor akomodasi dan makan minum paling terdampak (92%) diikuti oleh sektor jasa lainnya dan transportasi.
Dampak yang masif pada sektor pariwisata ini menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif. Inovasi dan diversifikasi kegiatan promosi dan pariwisata harus dilakukan. Inovasi dalam memenuhi protocol cleanliness, healthy, safety and environment (CHSE) yang terintegrasi antara access, amenities, dan attractions menjadi sebuah keharusan. Selain itu, akselerasi digitalisasi yang merupakan dampak positif dari pandemi harus dapat dimanfaatkan secara maksimal. Pelaku usaha wisata, akomodasi, dan makan minum diharapkan dengan cepat mengadopsi teknologi digital untuk mampu bertahan di tengah pandemi. Jumlah, kecepatan, dan tipe data yang saat ini sangat masif yang diproduksi secara real-time atau yang lebih dikenal dengan istilah big data dapat digunakan untuk membangun kembali pariwisata yang terpuruk. Beberapa negara seperti Korea Selatan, Vietnam, serta Australia telah mengimplementasikan penggunaan Big Data untuk menggenjot kembali sektor wisatanya yang telah terjun bebas.
Sumber big data
Secara umum terdapat tiga tipe sumber big data, exhaust data (seperti data transaksi perbankan, data telepon (call data record), sensor (seperti internet of things (IoT), cctv, Google Maps, citra satelit), dan digital content data (media sosial seperti Facebook, Twitter, atau Instagram), blog, Google Trend, online travel agency, review daring, dll). Untuk pariwisata, semuanya dapat digunakan dan dikombinasikan untuk saling melengkapi. Beberapa riset yang dilakukan oleh para akademisi, seperti dari Politeknik Statistika STIS telah menunjukkan bahwa berbagai sumber big data tersebut jika dapat digunakan untuk percepatan kebijakan, termasuk untuk pariwisata dan ekonomi kreatif.
Manfaat big data
Di era digital ini, ketika semua saling terkoneksi, big data amat bermanfaat untuk menghubungkan pelanggan, pekerja, pengelola hotel, pengelola restoran, bahkan pengelola tempat wisata. Koneksi ini kerap diistilahkan sebagai smart tourism. Untuk meningkatkan tingkat kunjungan dan hunian kamar, kombinasi data kegiatan budaya, jadwal libur, cuaca, penerbangan, serta update situasi covid-19 dapat digunakan untuk memformulasikan strategi pemasaran serta pelaksanaan yang digunakan.
Selanjutnya, dengan informasi dari media sosial, Google Trend, hasil review online, data telepon, serta data transaksi perbankan (digital maupun konvensional) dapat digunakan untuk memahami profil, kebiasaan konsumsi dan wisata, kebutuhan, serta permintaan wisatawan yang akan meningkatkan nilai produk atau layanan yang ditawarkan. Produk wisata dapat ditawarkan dan disesuaikan dengan segmen dari wisatawan serta melalui media sosial serta media online lainnya.
Peningkatan reputasi dan viralitas suatu tempat wisata maupun hotel atau restoran bisa dengan memperhatikan review dan rekomendasi dari platform digital. Hasil analisis review online dapat juga digunakan untuk mengatasi isu negatif secara lebih cepat dan memberikan informasi mengenai sentimen dari suatu produk dan juga meningkatkan engagement dari para wisatawan, traveler, dan influencer.Automasi sistem perjalanan, pemesanan, dan penyediaan menjadi keharusan untuk mengurangi kontak antar-individu.
Call detail record yang berisi informasi lokasi real-time ponsel bisa digunakan untuk memantau arus wisatawan, menganalisis perilaku perjalanan wisatawan, distribusi hot spot objek wisata, asal wisatawan, informasi penduduk, dan data lainnya. Data itu juga bisa digunakan untuk membenahi manajemen transportasi, seperti mengatur jumlah kerumunan wisatawan, untuk memastikan terlaksananya protokol kesehatan. Semua ini tidak hanya akan meningkatkan daya saing penyelenggara wisata, tapi juga dapat memberikan informasi serta insight bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang tepat untuk stimulus bagi pelaku usaha pariwisata.
Automasi sistem perjalanan, pemesanan, dan penyediaan menjadi keharusan untuk mengurangi kontak antar-individu. Teknologi artificial intelligence (AI) pengenalan wajah dan suhu dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu yang mungkin mengalami demam dan terkena virus di bandara, hotel, dan objek wisata. Agar wisatawan merasa aman dan yakin bahwa kesehatan mereka terlindungi.
Tantangan pemanfatan big data
Meski sebagian dari big data dapat diperoleh dengan mudah, akses terhadap berbagai sumber big data yang dimiliki oleh pihak swasta seperti data telepon dan transaksi, merupakan tantangan terbesar dalam pemanfaatannya. Hal ini dapat dijawab dengan adanya data partnership antara pemerintah dan berbagai pihak dan pelaku usaha tersebut. Selain itu, infrastruktur (penyimpanan dan komputasi) yang canggih, serta SDM data scientist yang berpengalaman sangat diperlukan dalam mengolah dan menganalisis data yang sangat masif dengan pendekatan machine learning serta penerapan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Selain itu, data privacy and ethics harus menjadi perhatian utama untuk memastikan bahwa tidak ada kebocoran data individu maupun pelanggaran privasi. Pencegahan dapat dilakukan dengan tata kelola data yang jelas serta memastikan bahwa sistem yang digunakan telah memenuhi standar keamanan digital yang ada.[]

