Disebutkan bahwa setiap kekuasaan membutuhkan media untuk merepresentasi kekuasaannya dan simbol kota menjadi salah satu media yang banyak digunakan untuk kepentingan itu. Simbol kota juga menjadi alat untuk melihat relasi sosial dalam masyarakat.
Dari hasil studi Sarkawi B Husain dapat dilihat bahwa selain monumen, patung, dan tugu, nama-nama jalan juga menjadi media untuk merepresentasikan kekuasaan. Perebutan simbol nama jalan di Surabaya dibahas secara khusus pada halaman 77-107.
Perubahan nama jalan di Surabaya ternyata tidak berlangsung mulus. Di masa pemerintahan Wali Kota Soenarto Sumoprawiro, menjelang HUT Ke-708 Kota Surabaya pada 31 Mei 2001, Jalan Raya Darmo akan diubah menjadi Jalan Soekarno-Hatta. Perubahan nama itu ditentang warga dan warga menang.
Alasan pemerintah kota saat itu ialah untuk menghargai jasa Soekarno-Hatta sebagai proklamator. Kota Surabaya mungkin satu-satunya kota besar yang tidak menjadikan Soekarno-Hatta sebagai salah satu nama fasilitas publik. “Perebutan simbol antara negara dan masyarakat yang menggunakan alasan sejarah pun tidak terhindarkan,” kata Sarkawi.
Mengapa masyarakat lebih suka menggunakan nama lama jika dibandingkan dengan nama baru yang notabene ialah pahlawan nasional? Sarkawi memberi jawaban bahwa perubahan nama jalan menjadi nama pahlawan hanya dilakukan atas keinginan dan prakarsa pemerintah kota. Usulan nama pahlawan versi masyarakat disingkirkan.
Jauh lebih elok lagi jika penggantian nama jalan mempertimbangkan gender. Jakarta sejatinya belum memberikan ruang yang layak bagi kaum perempuan. Penggantian nama jalan saat ini hanya menebalkan budaya patriarki.