Berselang satu tahun, di akhir 1999, pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan 12 Agustus sebagai hari Hari Anak Muda Internasional. Setiap tahunnya, hari besar anak muda ini menjadi ajang menyuarakan aspirasi, kepentingan, kebutuhan dan pandangan anak muda di seluruh dunia.
Mulai dari isu partisipasi, pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dan lain-lain. Semua tema yang diangkat berdasarkan kondisi, situasi, juga konteks anak muda pada setiap zamannya.
Hari Anak Muda Internasional selalu dirayakan sekaligus menjadi sarana edukasi kepada para stakeholder agar terus bekerja sama menguatkan kapasitas anak muda agar mampu hidup dan menghidupi masa depan. Pada tahun ini, kampanye yang diangkat adalah “Safe Spaces For Youth”. Gagasan ini berangkat dari perhatian para pemimpin dunia juga atas desakan komunitas anak muda global yang membutuhkan ruang yang nyaman sekaligus aman untuk tumbuh beraktualisasi.
Remaja saat ini hidup dalam dua ruang sekaligus; ruang maya dan ruang nyata. Pada kenyataannya, kedua ruang tersebut belum menjadi ekosistem yang baik bagi proses pendewasan kalangan muda.
Di ruang maya, anak muda masih sangat rentan terpapar paham terorisme, pornografi, cyber bullyng, sexual harassment, kasus penipuan, konflik SARA di media sosial, jual-beli narkoba, prostitusi dan judi online.
Sedangkan, pada ruang nyata, tantangan anak muda bahkan bertambah berkali-kali lipat. Ancaman yang ada di ruang maya, terjadi juga di ruang nyata dengan modus operandi yang lebih cangih.
Belum lagi, kecenderungan diskriminasi yang tumbuh dalam benak masyarakat kita, yang belum siap menerima perbedaan suku, agama, ras, etnis, budaya, gender, orientasi seks, kelas ekonomi, atribut sosial hingga afiliasi politik.
Tidak jarang, buah dari diskriminasi adalah intiminasi dan marjinalisasi terhadap kalangan tertentu. Bahayanya seolah ini telah menjadi norma, kewajaran dan konsensus bersama. Terlebih lagi, pemahaman salah tersebut terus direproduksi pada lembaga dan ruang-ruang publik.
Virus ini menjangkiti kita semua, mulai dari birokrasi pemerintah, organisasi masyarakat, institusi pendidikan hingga perusahaan swasta. Maka tidak heran, jika anak muda melestarikannya, dan mereka akan semakin terjebak dalam situasi yang sulit pada nantinya.
Dilema anak muda
Situasi dilematis ini perlu kita cermati bersama, bahwa anak muda memiliki kecenderungan mudah terjebak pada ruang dan lingkungan yang buruk.
Kecenderungan ini sering dibarengi dengan kekecewaan mereka yang tinggi terhadap situasi politik, ekonomi, dan sosial pada level mikro, yakni dampak pada tataran diri sendiri, keluarga atau lingkungannya.
Kekecewaan tersebut memiliki pengaruh besar dalam membentuk pengalaman dan sikap anak muda kita. Sebagian besar tumbuh menjadi anak muda yang pesimis, radikal, skeptis, dan antipati terhadap peran pemerintah dan partai politik (parpol).
Bagi mereka, parpol dan pemerintah tidak pernah serius untuk mengerti dan menyelesaikan dilema yang sedang dihadapi anak muda. Akhirnya, anak muda memilih untuk lebih aktif di komunitasnya sendiri-sendiri dengan menciptakan ruang “nyaman” masing-masing di tengah keterbatasannya.
Penyaluran oleh anak muda tersebut bisa ke arah positif dan negatif. Anak muda yang positif akan memilih ruang-ruang yang dapat menambah wawasan, moral, dan keterampilan mereka. Ruang tersebut bisa diakses oleh anak muda melalui komunitas kreatif, komunitas olahraga, komunitas hobi, atau komunitas keagamaan.
Sedangkan, penyaluran negatif anak muda bisa terlihat pada berbagai fenomena kekinian, seperti marakya sugar baby, geng motor, “ayam kampus”, “kucing”, junkies, pedofil, bahkan menjadi pengikuti sekte teroris, masih menghantui kita semua.
Mulai memastikan
Yang perlu menjadi catatan bagi para pemangku kekuasaan, sejatinya identitas anak muda tidak bisa diseragamkan dan dipukul rata. Sebaliknya, walaupun berbeda-beda, anak muda harus diperlakukan setara dan berkeadilan.Sebagaimana diketahui, masa muda adalah masa pencarian jati diri. Anak muda rentan terjerumus dalam ruang dan perilaku negatif. Memastikan ruang yang baik untuk anak muda adalah tugas yang perlu dipikul bersama.
Mengupayakan ruang aman untuk anak muda perlu tenaga, waktu dan pemahaman yang utuh. Berbagai metode dan model dapat dikatakan efektif jika mampu membangun keterlibatan dan memberdayakan pemuda itu sendiri.
Paling penting adalah mengakui bahwa ada konteks sosial yang berbeda secara geografis dan demografis, yang berdampak pada perbedaan persoalan dan tantangan yang dihadapi anak muda. Dengan demikian, dengan mengakomodir keberagaman tersebut, kebijakan maupun program sosial akan bersifat khusus dan inheren dengan kebutuh riil setiap anak muda.
Sebelum menciptakan ruang-ruang baru untuk anak muda, lebih baik kita memulai dengan memastikan apakah lingkungan rumah, sekolah, birokrasi, kampus, pesantren, perkantoran dan ruang publik kita sudah aman, nyaman dan sesuai selera anak muda? Tentunya dengan bertanya kepada anak muda itu sendiri.
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id

