SEJAK kelahirannya, eksistensi pers selalu diuji. Ini bukan hanya soal keberlanjutannya, melainkan juga soal perannya.
Peran kontrol sosial membawa konsekuensi soal independensi. Pers tidak boleh berpihak, kecuali pada kebenaran. Maka wajar jika pers menjadi pengkritik keras segala isu.
Namun, perkembangan pers menunjukkan mudahnya kritisme berubah menjadi pemberitaan negatif, bahkan sensasional. Akibatnya, adagium terkenal dari industri pers ialah bad news is good news atau bad news sells. Dengan kata lain, kabar buruk lebih menjual jika dibandingkan dengan kabar baik.
Meski telah mampu menghidupkan industri, candu pemberitaan negatif juga menjadi bumerang. Sudah beberapa dekade ini timbul apatisme masyarakat global akibat kejengahan akan berita-berita muram itu.
Hasilnya, media arus utama yang mulai ditinggalkan. Disrupsi teknologi pun membuat masyarakat leluasa memilih sumber informasi lain yang dianggap lebih jujur.
Kini pandemi covid-19 membuat ujian peran pers itu semakin nyata. Luasnya skala wabah yang baru kali pertama dalam sejarah manusia, membawa pertanyaan akan peran pers. Peran kontrol sosial pun diuji hingga ke akarnya. Bagaimanakah wujud kontrol sosial itu dalam kegentingan dunia saat ini?
Pertanyaan itu tidak berlebihan. Sebab, tanggung jawab pers sebenarnya tidak lebih ringan dari mereka yang berada di garda terdepan.
Lewat berita, pers membentuk opini dan menggerakkan perilaku. Maka sejatinya pers punya tanggung jawab untuk menggerakkan perilaku sosial dalam memerangi covid-19.
Tanggung jawab itu pula yang harus bisa dijawab pers Indonesia yang kemarin merayakan Hari Pers Nasional. Besarnya peran pers di tengah pandemi ini juga bisa dilihat dari ajakan Presiden Joko Widodo agar pers menyuarakan optimisme.
Memang, dengan optimismelah manusia bisa bangkit dan bergerak maju bahkan di saat terpuruk sekalipun. Tidak hanya itu, optimisme ibarat virus yang cepat menular dan membuat perubahan.
Di tengah pandemi ini pun kita sudah melihat bagaimana optimisme melahirkan berbagai gaya hidup positif hingga melahirkan berbagai gerakan berbagi.
Sebaliknya, kabar tentang kelemahan penanganan di faskes ataupun kelemahan testing dengan cepat melahirkan apatisme. Satu kasus kesalahan testing yang dibesarkan sudah bisa melahirkan opini akan ketidakakuratan seluruh fasilitas pengujian.
Di tahap vaksinasi sekarang ini berita kegagalan juga bisa berdampak pada kegagalan program. Studi internasional pun telah menunjukkan bahwa kabar kelemahan dan kesalahan vaksinasi terbukti melahirkan keengganan penerima vaksin dan selanjutnya mengancam terwujudnya herd immunity.
Namun, betul bahwa optimisme yang disuarakan pers tidak melepaskan tanggung jawab kritisme.
Maka di sinilah pula pertanyaan tentang peran kontrol sosial itu terjawab. Kontrol sosial semestinya bergandengan dengan kekuatan konstruktif atau membawa perbaikan. Bukan sebaliknya, kontrol sosial yang hanya membawa destruksi.
Tidak heran, paham jurnalisme konstruktif makin disuarakan keberadaannya. Jurnalisme konstruktif bukan sekadar good news is good news atau sekadar memproduksi lebih banyak berita positif, melainkan jurnalisme yang menciptakan lebih banyak pengetahuan. Dengan kata lain, pers tidak hanya menyuarakan informasi, tetapi juga ikut menginspirasi solusi.
*Editorial Media Indonesia Rabu, 10 Februari 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di