M Tata Taufik
M Tata Taufik (M Tata Taufik)

M Tata Taufik

Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat

Filsafat dan Sarjana Kambing

M Tata Taufik • 22 September 2022 11:03
ISTILAH filsafat kambing mulai terdengar penulis pada tahun 1980-an saat masuk Pesantren Gontor. Frasa itu diucapkan Pak Zar (panggilan akrab KH Imam Zarkasyi) pada kuliah umum pekan perkenalan.
 
"Hidup itu jangan seperti kambing, hanya makan, minum, punya rumah, punya istri, dan punya anak. Orang yang hidup seperti itu sama saja dengan kambing.”
 
Kira-kira itu pesan sentral dari beliau untuk memberikan penekanan akan pentingnya arti berperan dan bermakna dalam hidup. Dikuatkan lagi dengan hadis yang sangat populer di kalangan kaum muslimin, “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.”
 
Santri Gontor akan segera tahu maksudnya ketika disebutkan filsafat kambing. Dan ini sangat populer karena hampir di setiap pertemuan selalu disampaikan oleh para kiai sampai sekarang, bahkan menyebar juga di pesantren-pesantren alumni Gontor. Secara ontologis penulis tidak tahu persis dari mana asal-usul dan siapa pencetus awalnya dari istilah tersebut. Kalau boleh menduga-duga, mungkin kembali kepada pemahaman dari al-Qur'an Surat (QS) 7:179 atau QS 25:44. Kedua surat itu menggambarkan kelalaian dan kesesatan manusia karena tidak menggunakan hati nurani, mata, telinga, serta pikiran secara baik sebagaimana mestinya.
 
Bisa juga dikaitkan dengan meniru perumpamaan yang dipakai al-Qur’an dalam membandingkan perilaku manusia dengan binatang. Taufiq Ismail menyajikannya dengan apik dalam puisi “Bermata Tapi Tak Melihat” pada tahun 1987-an yang kemudian dipopulerkan oleh Bimbo.

Sarjana kambing

Pada 2017 filsafat kambing tersebut dengan baik divisualisasikan dalam film Sarjana Kambing garapan sutradara Agus Elias. Cerita dan skenarionya ditulis Haris Suhud. Film yang berdurasi satu jam lebih itu dapat mewakili bagaimana aktualisasi filsafat kambing dalam kehidupan dikaitkan dengan gelar kesarjanaan dan mentalitas serta peran sosial seseorang.
 
Diceritakan Irul, seorang anak desa, yang menelan biaya kuliah dengan menghabiskan empat hektare sawah dan empat sapi. Meski mendapat predikat sarjana terbaik, Irul malah memilih tinggal di desanya. Memelihara kambing dan bercocok tanam dan meramu pupuk organik.
 
Pilihannya itu membuat Irul tidak pernah bisa akrab dengan ayahnya. Sang bapak menghendaki Irul untuk bekerja kantoran, dapat gaji, berpakaian rapi di kota besar. Sementara, cita-citanya ingin membangun masyarakat petani dengan mengajarkan ilmu bertani sesuai yang didapat dari perkuliahan.
 
Ya, ini gambaran umum masyarakat kita yang menganggap sekolah dan gelar kesarjanaan sebagai modal untuk mencari kerja. Sehingga, bersekolah dan belajar itu dipandang sebagai kegiatan berdagang, mencari untung, dan pada gilirannya mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk biaya sekolah.
 
Mindset tentang pendidikan bagi masyarakat masih terikat dengan pendidikan tempo dulu; masa kolonial. Sebagaimana dinyatakan Gus Dur, orientasi pendidikan menciptakan "kelas kerani".
 
Kondisi masyarakat yang “belum siap” menerima kenyataan bahwa sekolah tidak berakhir dengan kerja, terukir juga dalam judul lagu “Sarjana Muda” milik Iwan Fals yang populer sejak tahun 1980-an. Tentu saja secara sosial melahirkan penilaian nyinyir bagi sarjana kreatif yang memilih bekerja memanfaatkan ilmu di kampung dan membangun desanya.
 
Sebutan sarjana jualan bubur pernah juga beredar di kampung penulis. "Sekolah juga percuma kalau tidak punya tambatan yang bisa dijadikan koneksi pekerjaan. Walau, sekolah juga tak akan bisa jadi guru." Demikian ungkapan yang sering terdengar dalam percakapan masyarakat desa.

Kegilaan

Kembali ke tokoh Irul. Sikap melawan arus yang dia lakukan disebut mental petarung dan kegilaan. Gila dalam arti berani berpikir keluar dari kotak pemikiran pada umumnya. Out of the box.
 
Dalam Serious Creativity, Edward De Bono menyebutkan innocence, experience, motivation, chance, accident, mistake, serta madness adalah sumber berpikir yang bisa membangkitkan ide-ide kreatif. Asyiknya dramatisasi filsafat kambing dalam film Sarjana Kambing mengangkat tema kepolosan, motivasi, dan kegilaan (madness) yang kerap keluar dalam dialog keseharian kita. Maksudnya, diskusi-diskusi yang sering dilakukan dalam merancang sebuah program atau kegiatan.
 
Sarjana kambing mengajarkan arah dari status sosial kesarjanaan kepada peran sosial yang lebih bermakna bagi orang banyak. Keberhasilan diukur dengan karsa dan karya serta peran bagi masyarakat sekitarnya.
 
Sebagai ilustrasi, ketika ditanya sudah berapa banyak alumni Pesantren Gontor yang menjadi orang besar? KH Imam Zarkasyi menjawab: Yang disebut orang besar itu seperti apa? Ukurannya apa? Bagi saya orang yang mau tinggal di desa, mengajar anak-anak mengaji di surau, itu orang besar.
 
Terima kasih kepada Agus Elias dan Haris Suhud yang telah mengedukasi kita semua; menyajikan filsafat kambing yang penulis dengar waktu kecil, menjadi lebih hidup. Karena orang besar itu orang yang mau melakukan pekerjaan “kecil” di mata orang kecil.[]

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Sarjana Pendidikan Pesantren Gontor Pendidikan

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif