Ragam respons
Sontak saja pernyataan itu memancing ragam tanggapan. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengapresiasi sifat bijak Presiden Joko Widodo untuk meminta maaf kepada rakyat. Iya menyinggung, tingkat kepuasaan Joko Widodo masih tinggi, tapi masih ada warga yang belum tersentuh. Senada dengan PKS, Partai NasDem melalui Wakil Ketua Umum Ahmad Ali mengatakan permintaan maaf Presiden Joko Widodo sebagai bentuk pertanggungjawaban moral seorang pemimpin.Berbeda dengan PKS dan NasDem, PDI Perjuangan melalui Jubirnya Chico Hakim menganggap permintaan maaf itu terlambat disampaikan. “Kami tidak merasa ini sesuatu yang perlu dihiraukan. Terlalu serius atau terjalu jauh karena semuanya sudah cukup terlambat.”(Detik.com, 3/8). Sikap skeptis PDI Perjuangan sangat beralasan karena kecewa dan merasa banyak dirugikan oleh sikap dan keputusan politik Joko Widodo akhir-akhir ini.
Kesan positif
Ungkapan “permohonan maaf” sebetulnya lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Merasa bersalah atau tidak, biasa menyampaikan kalimat itu. Ini budaya dan tradisi ketimuran yang muncul dari sikap rendah hati terhadap orang lain.
Dari sisi kemanusiaan, menyampaikan “permohonan maaf” adalah wajar. Namun, berbeda saat orang nomor satu di Indonesia menyampaikan permohonan maaf. Apalagi respons atas pernyataaan itu dipengaruhi situasi kebatinan politik yang tidak nyaman.
Baca juga:Jokowi tak Terlupakan |
Pernyataan ini tidaklah keluar dari ruang kosong (baca: tanpa motif), artinya sudah diprediksi target segmen dan respons serta tanggapan masyarakat. Setiapstatementseorang Presiden pasti sudah dikalkulasi implikasinya, apalagi disampaikan saat sambutan di sebuah acara, setidaknya bisa menjadi arah kebijakan yang punya resonansi kuat. Berbeda dengan pernyataan orangawamyang tidak memiliki kekuasaan dan otoritas. Dari perspektifpublic relations, permohonan maaf Presiden Joko Widodo memiliki target-target tertentu, tidak muncul dari ruang hampa. Beberapa analisis atas statemen ini,pertama, strategi komunikasi publik Presiden. Menggunakan diksi “permohonan maaf” akan memunculkan empati sekaligus membangkitkan simpati publik. Tentu saja pernyataan ini bukanlah pengakuan kegagalan selama 10 tahun memerintah.
Tingkat kepuasan kinerja Presiden Joko Widodo masih tinggi, Litbang Kompas mencatat kepuasan publik 75,6 %. Sedangkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat kepuasan terhadap kinerja Joko Widodo stabil di angka 76,2 %. Indikator Politik Indonesia menunjukkan kepuasan publik sekitar 76,5 %. Pembangunan infrastruktur dan program bantuan sosial menjadi faktor pendukung kepuasan, meski sebagian masyarakat ada yang tidak puas karena naiknya harga kebutuhan pokok.
Kedua, membangun kepercayaan. Permohonan maaf ini bertujuan membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah. Denganstatement“mengalah” dan “merasa tidak sempurna”, adalah “strategi merendah” yang justru bisa membangkitkantrust. Dalam Bahasa pesantren sikap “tawadlu” ini merupakan kebiasaan baik bagi pemimpin.
Meski hasil survei kepuasan Presiden Joko Widodo masih sangat tinggi. Namun, masih perlu politik simbolik untuk memperkuat citranya. Sikap politik menjelang Pilpres dan pembangunan IKN yang tidak memenuhi target waktu, mempengaruhi kepuasan masyarakat terhadap pemerintah. Politik simbolik bisa dalam bentuk tindakan atau pernyataan, meski terkadang tidak substansial tapi diperlukan untuk mempertahankanpublic trust.
Baca juga:Maaf, Problem Bangsa makin Pelik |
Terakhir, kesan positif. Dari sisitiming, pernyataan ini demi upaya membangun kesan positif (positive impression) di akhir jabatannya. Kesan ini penting untuk “mengalihkan persepsi” beberapa kebijakan yang memunculkantonenegatif. Presiden Joko Widodo tidak ingin di akhir jabatannya dianggap gagal dan tidak berprestasi.
Meski telah banyak capaian program pembangunan di masa pemerintahannya, terutama kebijakaninterconnecting(keterhubungan) antar-daerah dengan program pembangunan infrastruktur jalan tol Trans-Jawa, Tol Trans-Sumatera dan tol lainnya, revitalisasi sejumlah bandara, pembangunan transportasi massal seperti MRT dan LRT di Palembang dan Jakarta, pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW, pembangunan dan pengembangan pelabuhan dan lain-lain.
Selain itu, melalui program kesejahteraan sosial, Joko Widodo membuat Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Namun, keberhasilan ini bisa tidak bermakna hanya karena beberapa kebijakan kontraproduktif.Legacypemerintahan Presiden Joko Widodo bisa hilang hanya karena kebijakan yang salah.
Apapun respons elite, “permohonan maaf” Presiden Joko Widodo merupakan tradisi baik (positif) seorang pemimpin. Meski terkesan simbolik, tradisi ini mesti didorong dan dikembangkan kepada pemimpin-pemimpin daerah untuk membangun sikap elegan bahwa pemimpin tidak takut mengakui kekhilafannya.[ ]