IRONI negeri kaya sawit. Rakyat antre berjam-jam, saling dorong bahkan sampai ada yang meninggal demi seliter-dua liter minyak goreng. Ironi itu dirawat penuh kesadaran, empat perusahaan dibiarkan suka-suka menentukan harga minyak goreng.
Indonesia penghasil sawit terbesar di dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, penguasaan luas areal perkebunan sawit masih didominasi perkebunan besar swasta. Sebesar 7,98 juta hektare atau 54,69% dikuasai swasta; diikuti perkebunan rakyat yang menguasai 6,04 juta hektare atau 41,44%; sisanya 0,57 juta hektare atau 3,87% dikuasai perkebunan besar negara.
Rakyat di daerah penghasil sawit ibarat ayam mati di lumbung padi. Produksi minyak sawit terbesar 2020 berasal dari Provinsi Riau dengan produksi sebesar 8,54 juta ton atau sekitar 19,62% dari total produksi Indonesia. Akan tetapi, pada 12 Maret 2022, ratusan warga Kota Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau, rela antre sejak pukul 05.00 WIB untuk mendapatkan minyak goreng.
Miris.
Boleh-boleh saja penguasaan lahan jauh lebih besar oleh swasta asalkan penguasaan itu tetap dalam koridor Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai negara di dalam Pasal 33 UUD 1945 sebagai dikuasai negara yang tidak berarti bahwa negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan, atau ordernemer.
Kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula pengisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Rumusan pendiri bangsa itu sejalan dengan tafsiran Mahkamah Konstitusi.
Dalam putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010, MK mengatakan, “Dengan adanya anak kalimat ‘dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’ maka sebesar-besar kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan tindakan pengurusan, pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”
Pada mulanya pemerintah mengendalikan persoalan minyak goreng melalui penetapan harga eceran tertinggi. Tatkala kebijakan itu gagal total, harga minyak goreng dikembalikan ke mekanisme pasar.
Padahal, pasar minyak goreng sudah dikuasai mafia menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), pasar dikuasai kartel.
Negara sepertinya menutup mata atas fenomena pengisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal dalam kasus minyak goreng. Kartel minyak goreng bukan isapan jempol, ada jejaknya dalam putusan perkara Nomor 24/KPPU-I/2009.
Gaudensius Suhardi
Anggota Dewan Redaksi Media Group