Bijak Berselancar di Media Sosial
Bijak Berselancar di Media Sosial ()

Bijak Berselancar di Media Sosial

15 November 2016 06:11
MEDIA sosial ibarat sebilah pisau. Netralitas pisau hilang ketika berada di tangan seorang dokter untuk membedah atau di tangan pembunuh untuk membantai.
 
Pisau bermata dua bernama media sosial itu menerpa negeri ini. Kemajuan teknologi komunikasi itu mestinya bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk memperkukuh persatuan dan memajukan demokrasi. Namun, ini yang membuat kita prihatin, pada sisi lain media sosial memiliki daya rusak yang luar biasa.
 
Daya rusak itu berupa lalu lintas berita bohong atau hoax yang memenuhi jagat pengguna Facebook, Twitter, ataupun aplikasi percakapan Whatsapp. Salah satu contoh hoax yang menjadi viral ialah Presiden Joko Widodo mencopot jabatan Panglima TNI yang diemban Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Presiden pun buru-buru membantah berita bohong itu dan memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk mengusut penyebaran informasi bohong itu.
 
Harus jujur diakui bahwa media sosial menjadi riuh oleh kebencian yang dilakukan tak hanya oleh haters, tetapi tidak sedikit dari deretan orang ternama, mulai para ilmuwan sampai agamawan. Media sosial berdaya rusak tinggi kala pengguna tidak bijak memakainya. Media sosial mestinya mendudukkan proses dialog yang sehat, tempat mengadu konsep dan strategi secara kreatif. Kawan dan lawan bisa berkompetisi dalam harmoni. Alangkah eloknya bila media sosial menjadi ajang silaturahim untuk mempererat rasa persaudaraan di dunia maya.
 
Akan tetapi, terutama saat memasuki masa kampanye pilkada serentak, media sosial justru menjadi arena benturan kepentingan politik yang dikemas melalui aroma agama dan ujaran kebencian. Para calon pemimpin tampak menjaga citra kesantunan di dunia nyata, tapi mereka atau tim sukses bisa berwujud serigala di dunia maya.
 
Para calon pemimpin yang tidak satu kata dengan perbuatan di dunia nyata dan maya bukanlah negarawan. Mereka hanyalah pemimpi. Kondisi itu semakin mengonfirmasikan atmosfer politik negeri ini yang disesaki politisi, bukan negarawan.
 
Harus tegas dikatakan bahwa di tangan politisi pemimpi, politik sebagai sebuah seni meraih kekuasaan yang seharusnya terlihat indah justru di media sosial menjelma menjadi hutan belantara permainan kepentingan. Tidak ada kesejukan, jauh panggang dari suasana damai. Hutan politik itu menjadi gersang dari nilai-nilai kepatutan.
 
Terus terang, ujaran kebencian di media sosial sudah berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia, mulai level ringan hingga berat. Bahwa benar, pada awalnya hanya mengunggah kata-kata atau visual yang diedit sana sini, tapi efeknya mampu menggerakkan massa hingga berpotensi memicu konflik horizontal dan vertikal.
 
Negara tidak boleh diam, apalagi kalah, untuk membendung ujaran kebencian di media sosial. Sudah saatnya pemerintah terus-menerus menggerakkan literasi internet sehingga media sosial mampu mendorong transparansi, menjaga demokrasi, dan partisipasi publik.
 
Pada saat bersamaan dengan menggerakkan literasi internet, aparat penegak hukum jangan berpangku tangan, harus turun tangan untuk memidana pelaku ujaran kebencian. Toh, aturan hukumnya sudah memadai, ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ada pula Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Jangan biarkan dua aturan itu hanya menjadi macan kertas.
 
Literasi internet dan penegakan hukum yang dilakukan secara bersamaan diharapkan bisa memaksa setiap orang untuk bijak berselancar di media sosial.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase media sosial

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif