Menolak Kekerasan
Menolak Kekerasan ()

Menolak Kekerasan

01 Agustus 2016 06:29
MASYARAKAT di negara yang menjadikan hukum sebagai panglima seperti Indonesia semestinya menyelesaikan segala perkara dengan berpijak pada hukum, bukan kekerasan. Cuma masyarakat di negara yang menjadikan hukum rimba sebagai panglima yang menyelesaikan berbagai persoalan melalui kekerasan.
 
Akan tetapi, itulah yang terjadi di Tanjungbalai, Sumatra Utara, Sabtu (30/7). Massa melancarkan kekerasan dengan membakar sejumlah rumah ibadah di sana. Dalam waktu yang tak terpaut jauh, kekerasan juga terjadi di Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Kekerasan di sini bahkan menewaskan dua warga.
 
Kekerasan seperti di Tanjungbalai dan Karo, atas nama apa pun, dengan alasan apa pun, tak bisa dibenarkan, tak boleh dimaklumi. Kekerasan bertentangan dengan nalar dan nurani.
 
Kekerasan hanya dilakukan mereka yang tak cukup memiliki nalar dan nurani. Disebut tak punya nalar dan nurani karena mereka buntu pikiran dan rasa sehingga mereka berpikir dan merasa bahwa kekerasan ialah satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan. Kekerasan jelas merupakan pelanggaran hukum. Itu artinya masyarakat yang menyelesaikan persoalan dengan kekerasan bukanlah masyarakat yang tertib hukum. Masyarakat seperti itu pantas mendapat sanksi hukum atas kekerasan atau pelanggaran hukum yang mereka lakukan.
 
Oleh karena itu, Polri harus menindak keras mereka yang melancarkan kekerasan dalam kedua peristiwa. Polri harus menunjukkan hukum masih bekerja sehingga Indonesia masih pantas menyebut diri sebagai negara hukum.
 
Bila didiamkan, kekerasan akan dianggap kebenaran, bukan pelanggaran hukum. Bila didiamkan tanpa ada tindakan hukum, kekerasan serupa mudah terulang.
 
Kita mengapresiasi Polri yang hingga kemarin telah menetapkan tujuh tersangka pascakekerasan di Tanjungbalai. Langkah Polri itu penting demi menghadirkan efek jera. Masyarakat akan berpikir ulang bila hendak melakukan kekerasan karena hukum akan menindak mereka.
 
Di sisi lain, aparat harus mengintrospeksi dan mengevaluasi diri. Aparat harus meningkatkan deteksi dini untuk mencegah kekerasan berulang. Terus terang kita katakan aparat kita kedodoran di titik deteksi dini ini.
 
Deteksi atau antisipasi dini amat penting digencarkan di Sumatra Utara. Kita tahu Sumatra Utara ialah wilayah multietnik, provinsi berbilang kaum. Di Sumatra Utara, persoalan kecil saja bisa memantik kekerasan dan kerusuhan berbau rasial.
 
Masyarakat Sumut sesungguhnya memiliki mekanisme atau kearifan lokal untuk merawat keberagaman. Cross-cultural affiliation atau afiliasi lintas kultur merupakan salah satu mekanisme tersebut.
 
Mekanisme semacam itu sesungguhnya sudah bekerja dengan baik sehingga Sumut tidak mengalami konflik etnik atau agama yang keras dan berkepanjangan seperti di sejumlah daerah lain di Tanah Air. Karena itu, kita mesti mengeksplorasi cross-cultural affiliation serta mekanisme pemeliharaan keberagaman lain untuk mempertahankan kedamaian di Sumut.
 
Kehadiran aparat dan pejabat di tengah rakyat serta partisipasi pemuka masyarakat menjadi penting untuk memulihkan kedamaian yang terkoyak di Tanjungbalai dan Karo.
 
Kita mengapresiasi kehadiran pejabat Polri dan pejabat daerah ke lokasi peristiwa. Kehadiran mereka sangat berarti dalam mempercepat pemulihan kedamaian di Sumatra Utara.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase kekerasan

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif