Awan kelam kekerasan terhadap perempuan dan anak masih saja menyelimuti Tanah Air. Perempuan dan anak masih saja menjadi korban kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual.
Data Komnas Perempuan pada 2015 menunjukkan setiap 2 jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Itu berarti 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Hampir separuh korban ialah anak-anak.
Gambaran kisah pilu perempuan dan anak di negeri ini menjadi viral kala seorang siswi SMP di Bengkulu meninggal lantaran dikeroyok, diperkosa, dan dianiaya 14 laki-laki sekitar sebulan silam. Yang tak kalah memilukan, dosen perempuan Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara meninggal dibunuh mahasiswanya sendiri hanya karena perkara nilai. Menjadi ironi karena tragedi tersebut bertepatan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2016.
Muncul anggapan negara belum sepenuhnya hadir memberi keamanan bagi semua rakyatnya, terutama perempuan dan anak. Negara semestinya senantiasa hadir melindungi perempuan dan anak melalui pengajaran di lembaga pendidikan, perangkat hukum, serta penegakan hukum.
Pemerintah dan DPR perlu segera mewujudkan payung hukum yang memberikan perlindungan komprehensif bagi korban kekerasan seksual, terutama kaum perempuan dan anak, melalui pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Celakanya, justru banyak produk hukum yang mendudukkan perempuan teronggok di sudut-sudut ruang publik.
Pelaku tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan harus dihukum berat. Hukum harus mengirim pesan yang kuat bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak harus diakhiri.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, sebanyak 321.752 perempuan Indonesia mengalami kekerasan selama 2015. Kita tentu tak ingin jumlah itu bertambah di tahun-tahun mendatang.
Laporan Komnas Perempuan itu juga menunjukkan tren kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat, menempati urutan terbesar kedua setelah kekerasan fisik.
Perempuan jelas tulang punggung bangsa ini. Perempuan ialah tiang negara. Perjuangan emansipasi bangsa ini dicapai atas peran besar perempuan. Makin banyak pula pemimpin perempuan di berbagai institusi.
Di pundak anak-anak terletak masa depan bangsa. Kita tak boleh mengajarkan kekerasan kepada anak-anak, apalagi menjadikan mereka sebagai sasaran kekerasan. Kita mesti mendidik dan memperlakukan anak-anak dengan ketegasan, tapi tetap penuh kesantunan dan kelembutan.
Kebijakan afirmatif terhadap perempuan juga telah dicanangkan dalam regulasi politik dan jabatan publik. Kita bahkan memiliki kementerian yang bertugas memberdayakan perempuan dan melindungi anak. Namun, negara tetap harus memastikan regulasi dan instansi tersebut bergerak menjalankan fungsi mereka. Negara harus memastikan perempuan dan anak tidak menjadi warga negara kelas dua.
Masyarakat dan publik juga memiliki tanggung jawab membangun solidaritas antikekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun, dalam konteks ini, tetap saja kita memerlukan kehadiran negara melalui pencanangan kurikulum yang berkeadilan gender.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
