KEMUNDURAN moral sebagian masyarakat kita sudah berada di titik nadir. Ini pantas dikatakan karena kebencian pun dijadikan komoditas oleh mereka. Dengan sindikat yang rapi, ujaran kebencian diproduksi secara masif dan disebarkan luas.
Makin menjijikkan lagi, industri itu bisa tumbuh dan berkembang karena ada orang dan pihak yang memang mau membayar mahal untuk virus kebencian itu. Terbongkarnya sindikat itu oleh Polri semestinya mampu mengungkap juga orang dan pihak yang menjadi klien mereka.
Tidak hanya itu, adanya sindikat itu semestinya membuka mata masyarakat yang selama ini mudah terbakar isu SARA. Kasus itu membuktikan konflik antarumat beragama boleh jadi bukan karena diversitas budaya atau salah dalam memaknai kebebasan berekspresi, melainkan sebab diproduksi dan diorkestrasikan political entrepreuneur untuk tujuan kekuasaan.
Pengungkapan sindikat bernama Saracen tersebut disampaikan Kepala Subbagian Operasi Satgas Patroli Siber Direktorat Tindak Pindana Siber Polri AKB Susatyo Purnomo di Markas Besar Polri, Rabu (23/8).
Tiga tersangka dari grup itu telah ditangkap, yakni jabatan ketiga menunjukkan sistem kerja yang rapi dari organisasi itu. Ketiganya ialah JAS, 32, ketua kelompok Saracen, MFT, 43, ketua bidang media informasi, serta SRN, 32, koordinator wilayah di Cianjur, Jabar, dan sekitarnya. Sosok SRN selama ini sudah jadi pembicaraan.
Perempuan itu sangat sering mengeluarkan hinaan dengan kata-kata kasar terhadap Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Untuk menyebarkan virus kebencian, Saracen yang beroperasi sejak 2015 memiliki banyak sekali akun di media sosial dan laman daring sendiri.
Dengan pengetahuan teknologi informasi (TI) yang mereka miliki, sindikat itu pun mampu mengambil alih akun orang lain dan mengaktifkan kembali akun yang telah dinonaktifkan pihak berwenang. Gerakan mereka pun ibarat gurita karena terkait dengan jaringan penyebar kebencian lainnya. Polisi memperkirakan ada 800 ribu akun Facebook yang terkait dengan sindikat itu.
Polisi pun mengibaratkan bagai pasar karena mereka bertukar ujaran kebencian dan berbagai bentuk hoax dan kemudian disebarkan lagi ke berbagai pihak. Seluruh aksi itu bukan semata karena ideologi, melainkan demi keuntungan materi. Tidak tanggung-tanggung, tarif yang mereka pasang untuk jasa bejat itu berkisar Rp75 juta-Rp100 juta.
Dengan tarif yang fantastis, dapat diperkirakan pengguna jasa mereka bukan orang biasa, melainkan para pemodal besar yang memiliki kepentingan untuk situasi konflik di masyarakat. Jika berkaca pada yang telah terungkap di negara maju, seperti Amerika Serikat, industri SARA kerap terkait dengan politikus atau kelompok politik.
Pendapatan yang diraup organisasi atau industri SARA sangat fantastis, yakni diperkirakan mencapai sekitar US$34 juta pada 2013. Besarnya angka itu menggambarkan pula besarnya tugas yang mereka laksanakan. Salah satunya ialah mendorong kebijakan yang menekan kelompok tertentu. Dengan belajar dari kondisi itu, kepolisian harus mengungkap jaringan kebencian ini hingga ke pangkalnya, yakni para pihak pemodalnya.
Pengungkapan mereka akan sama artinya dengan pengungkapan para pengkhianat bangsa. Hanya para pengkhianat yang tega memecah belah rakyat cuma untuk kepentingan pribadi dan golongan. Di luar itu, tanpa menunggu pengungkapan tuntas, pelajaran besar seharusnya sudah dapat dipetik masyarakat. Tumbuhnya sindikat itu hanya terjadi karena masyarakat yang rela untuk dibodohi dan menempatkan emosi di atas logika.
Oleh karena itu, penumpasan sindikat itu sebenarnya juga harus dilakukan setiap masyarakat, yakni dengan tidak ikut menyebarluaskan ujaran kebencian dan hoax. Masyarakat harus benar-benar sadar bahwa ketika kita ikut membagikan informasi sesat itu, sesungguhnya kita memberi keuntungan kepada para pemain kotor politik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
