Editorial Media Indonesia
Editorial Media Indonesia ()

Demonstrasi Overdosis

21 Februari 2017 08:23
SEGALA yang berlebihan tidak baik adanya. Itulah ujaran bijak yang semestinya menjadi pengingat bagi siapa pun, termasuk mereka yang belakangan getol menggelar unjuk rasa. Demonstrasi memang bukan barang haram. Meski demikian, ia sebaiknya tak dilakukan secara berlebihan. Di tanah demokrasi seperti Republik ini, demonstrasi mendapat tempat terhormat.
 
Ia dijamin konstitusi sebagai bagian dari cara rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Melarang demonstrasi sama saja membelenggu kebebasan menyatakan pendapat. Akan tetapi, demonstrasi tidak berada pada ruang hampa sehingga bebas nilai dan moral.
 
Sebagai anak kandung demokrasi, demonstrasi ialah perwujudan dari prinsip kebebasan. Namun, ia tak boleh mengekang kebebasan orang lain. Sebagai media untuk menyuarakan kepentingan, demonstrasi pantang pula mengganggu kepentingan orang lain.
 
Dengan batasan-batasan tersebut semestinya demonstrasi bukan menjadi sesuatu yang meresahkan, apalagi menakutkan. Bukankah unjuk rasa digelar salah satunya untuk menarik dukungan publik atas tuntutan yang disuarakan pengunjuk rasa? Demonstrasi hanya bisa mengundang simpati jikalau para demonstran menggelarnya secara tertib dan damai. Namun, setertib dan sedamai apa pun, unjuk rasa tetap akan kehilangan empati jika ia digelar terus-terusan dan berlebihan. Harus kita katakan, publik khususnya di DKI Jakarta sudah mulai terusik oleh demonstrasi yang dalam lima bulan kerap mewarnai denyut kehidupan Ibu Kota. Setidaknya sudah empat kali demonstrasi dalam skala besar terjadi. Aksi pertama berlangsung pada 14 Oktober 2016, kemudian demo 4 November atau dikenal dengan peristiwa 411, 2 Desember atau 212, dan 11 Februari atau 112.
 
Belum puas juga, hari ini massa dari kelompok yang sama akan kembali turun ke jalan. Artinya, lima bulan lima kali sudah demonstran menggelar demo besar-besaran. Sasaran mereka cuma satu, yakni Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Tuntutan yang dicuatkan memang tak persis sama, tetapi sebenarnya serupa. Dalam unjuk rasa pertama, massa menuntut Basuki ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penodaan agama. Ketika tuntutan itu terpenuhi, tuntutan berikutnya diusung, yakni agar Basuki ditahan.
 
Lalu, tuntutan bertambah agar Basuki diberhentikan sementara dari jabatan gubernur karena ia sudah berstatus terdakwa. Demonstrasi, sekali lagi, ialah hak setiap warga yang dipayungi konstitusi. Kita juga patut mengapresiasi lantaran meski di antaranya diikuti jutaan orang, empat demonstrasi terdahulu berlangsung tertib dan aman. Namun, harus kembali kita katakan pula bahwa setertib dan seaman apa pun, demonstrasi dengan jumlah massa begitu banyak tak mungkin tak mengganggu hak orang lain.
 
Dampak paling kecil dari unjuk rasa ialah lalu lintas Jakarta yang sehari-hari macet akan semakin macet. Dampak lebih besarnya, demonstrasi yang overdosis bisa menjadi kampanye buruk terhadap situasi bangsa ini yang ujung-ujungnya dapat memengaruhi ketertarikan investor untuk berinvestasi.
 
Kita tidak melarang unjuk rasa, tetapi akan lebih elok jika massa menyalurkan tuntutan lewat saluran resmi yang disediakan negara. Akan lebih bermartabat pula jika massa tak terus-terusan memenetrasi proses hukum dengan aksi jalanan. Biarkan tangan hukum leluasa bekerja tanpa tekanan, tanpa pengaruh dari siapa pun.
 
Dalam perkara pengaktifan kembali Ahok sebagai gubernur, bukankah ada pihak yang menggugat ke pengadilan tata usaha negara? Kita tunggu saja hasilnya. Demokrasi dan hukum wajib kita tempatkan dalam posisi yang saling menguatkan, bukan saling melemahkan. Demonstrasi sebagai perwujudan demokrasi pantang menegasikan hukum dan ketertiban publik. Karena itu, ia tak boleh overdosis.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase unjuk rasa

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif