Editorial Media Indonesia
Editorial Media Indonesia ()

Mencabut Hak Politik Koruptor

08 Juni 2017 07:53
TIADA hari tanpa korupsi. Postulat itu rasanya pas untuk menggambarkan sepak terjang para pengelola negeri ini. Mereka yang loba tiada henti merampok uang negara. Jeruji besi sekali pun tak kuasa menghadirkan efek jera. Korupsi di Republik ini sungguh sewujud dengan rumput liar yang malah subur setelah dibakar. Saking maraknya praktik patgulipat, publik terus mendapat suguhan tak mengenakkan, yakni terungkapnya kasus-kasus korupsi.
 
Suguhan terkini datang ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap tujuh orang di Kantor DPRD Provinsi Jawa Timur dan beberapa tempat lainnya, Senin (5/6). Dari operasi itu, KPK lantas menetapkan enam orang sebagai tersangka, salah satunya Ketua Komisi B DPRD Jatim dari Fraksi Partai Gerindra Mochamad Basuki. Ia diduga menerima Rp150 juta, bagian dari komitmen Rp600 juta yang diberikan per tahun oleh para kepala dinas yang bermitra dengan Komisi B.
 
Dari jumlah uang yang dikorupsi, kasus yang melibatkan Basuki mungkin tak terlalu besar. Namun, korupsi tetaplah korupsi yang mesti diperangi. Terlebih, perilaku busuk itu bukan kali pertama bagi Basuki. Basuki bukan orang baru dalam praktik rasywah. Pada 2002 ia terlibat kasus tunjangan kesehatan dan biaya operasional yang merugikan negara Rp1,2 miliar.
 
Ia divonis 1,5 tahun lalu dikurangi menjadi 1 tahun lewat banding dan terpilih kembali menjadi anggota DPRD setelah bebas. Basuki ialah contoh nyata sebagai pengelola negara yang mendewakan harta sehingga tak segan memangsa uang rakyat. Namun, Basuki hanyalah sedikit dari sekian banyak pejabat yang bertabiat serupa. Pertanyaannya, kenapa koruptor tak kapok dan calon-calon koruptor tak takut untuk korupsi? Berulang kali kita tegaskan bahwa korupsi subur bersemai, yang utama ialah lantaran penegak hukum masih setengah hati. Mereka yang semestinya pantang kompromi justru kerap bermurah hari kepada pelaku korupsi. Masih ada saja jaksa yang gemar menuntut ringan, tak sedikit pula hakim yang hobi memvonis enteng terdakwa korupsi. Tak cuma di ranah pengadilan, koruptor juga dimanja saat menghuni penjara yang dikelola Kementerian Hukum dan HAM.
 
Fasilitas mewah hingga potongan hukuman bukan perkara sulit untuk mereka dapatkan. Mantan jaksa Urip Tri Gunawan, terpidana perkara suap penanganan kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia, menjadi contoh telanjang betapa koruptor amat dimanjakan. Bayangkan, Urip yang divonis 20 tahun pada 2008 sudah mendapatkan status bebas bersyarat pada Mei 2017.
 
Artinya, belum juga menjalani separuh hukuman, ia sudah melenggang. Republik ini hanya bisa memenangi perang besar melawan korupsi jika seluruh penegak hukum, dari hulu ke hilir, dari penyidikan hingga pemenjaraan, satu hati satu pemahaman. Satu saja menyimpang, hukum hanya akan terus bahan tertawaan koruptor. Kasus Mochamad Basuki harus menjadi momentum bagi seluruh penegak hukum untuk tidak lagi sedikit pun memberikan hati kepada pelaku korupsi.
 
Sudah saatnya pula hukuman pencabutan hak politik menjadi menu tambahan dalam hidangan wajib berupa tuntutan dan vonis maksimal untuk perkara korupsi. Dengan pencabutan hak politik, pejabat korup tak lagi dapat menduduki jabatan publik untuk kembali korupsi. Hukuman itu bisa menjadi resep manjur di tengah longgarnya undang-undang yang membolehkan tersangka, terdakwa, terpidana percobaan, dan mantan terpidana untuk dipilih.
 
Selain mengoptimalkan pencegahan, hukuman yang menjerakan ialah keniscayaan agar negara ini bisa terbebas dari kanker ganas bernama korupsi. Kemestian itu harus diterapkan sekarang juga, jangan lagi ditunda-tunda.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase korupsi

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif