Penetapan awal Ramadan, baik melalui metode hisab maupun rukyat, menunjukkan 1 Ramadan jatuh pada hari ini. Itu artinya pada Ramadan tahun ini sebagian besar umat Islam Indonesia mengawali puasa secara bersamaan. Kebersamaan ini tentu harus kita rayakan. Namun, kita tetap tak boleh alergi dengan perbedaan. Kita juga boleh merayakan perbedaan dan keragaman.
Bukankah Tuhan menciptakan kita berbeda-beda? Bukankah pula negeri ini dibangun di atas fondasi perbedaan dalam bingkai persatuan? Itulah sebabnya kita tetap harus menghormati penganut Tarekat Naqsyabandiyah yang mengawali Ramadan secara berbeda, yakni pada 25 Mei. Kita harus menghargai perbedaan kendati mereka berasal dari komunitas kecil sebuah aliran keagamaan.
Hal yang tak kalah penting jika dibandingkan dengan memperbincangkan persamaan atau perbedaan awal Ramadan ialah menghayati dan mengamalkan makna puasa. Makna atau hakikat puasa yang dijalankan kaum muslim di bulan Ramadan ialah menahan diri. Bukan cuma dari nafsu makan dan minum, puasa semestinya kita beri makna menahan diri dari lisan yang mungkin gemar menebarkan kebencian.
Kita masih ingat bagaimana ujaran kebencian berseliweran setiap saat di ruang publik selama pilkada DKI Jakarta tempo hari. Celakanya, ujaran kebencian di seputar pilkada DKI itu berseliweran di rumah-rumah ibadah. Itulah sebabnya Wakil Presiden Jusuf Kalla mengimbau masjid untuk menebarkan kesejukan selama Ramadan, bukan kegaduhan dan kebencian.
Di era digital dewasa ini, pada puasa bahkan bisa kita tabalkan makna menahan jari-jemari kita dari kegemaran menebar berita palsu alias hoax di media sosial. Lagi-lagi semasa pilkada DKI, berita palsu bertebaran di media sosial. Tahanlah jari-jemari mengabarkan informasi apa pun sebelum bertabayun atau melakukan verifikasi. Bukankah Tuhan menyuruh kita untuk tidak memercayai dan menyebarkan begitu saja segala informasi sebelum kita memverifikasinya?
Kita juga mengimbau kelompok yang doyan sweeping untuk menahan diri. Jangan main hakim sendiri. Bila ada hal-hal yang tidak pas atau kurang pantas, serahkan kepada aparat hukum untuk menuntaskannya. Menahan diri dari perbuatan-perbuatan di atas semestinya dilakukan tidak hanya selama Ramadan, tetapi seterusnya. Ramadan ialah bulan ujian.
Kita lulus menghadapi ujian di bulan Ramadan justru bila kita sanggup menahan diri setelahnya, selamanya. Kita lulus ujian menahan diri bila kita, misalnya, tak lagi menebar kebencian serta berita palsu pada pilkada serentak tahun depan dan Pemilu 2019. Ramadan dalam bahasa Arab berarti membakar, menghanguskan, atau menghancurkan. Menolak perbedaan, menebar kebencian dan berita palsu, serta berbuat radikal ialah bentuk-bentuk egoisme karena di sana terkandung syahwat pengin menang sendiri.
Bila kita sanggup menahan diri selama Ramadan dan masa-masa setelahnya, ego-ego itu hangus terbakar. Kita seperti terlahir kembali sebagai manusia. Kelak di penghujung Ramadan atau awal Syawal yang dikenal sebagai Idul Fitri, kita kembali ke fitrah atau jati diri kita sebagai manusia. Umat Islam ialah bagian terbesar bangsa ini. Bila lulus ujian menahan diri melalui puasa di bulan Ramadan, umat Islam akan memberi kontribusi terbesar pada kemajuan bangsa ini, menjadi rahmat bagi semesta Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
