PERADILAN Setya Novanto ibarat drama hukum. Di dalamnya seperti terjadi pertandingan peradilan pokok perkara versus praperadilan. Di sana berlangsung pula pertandingan hukum formal versus hukum material. Kemarin, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang perdana kasus yang melibatkan Ketua Umum nonaktif DPP Partai Golkar sekaligus mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Dalam sidang tersebut, majelis hakim memerintahkan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan surat dakwaan terhadap tersangka korupsi proyek pengadaan KTP elektronik tersebut. Persidangan yang sempat diwarnai aksi 'membisu' Novanto dan skors selama 1,5 jam untuk pemeriksaan kesehatan yang bersangkutan itu meletakkan dasar yuridis yang menentukan bagi kelanjutan proses peradilan kasus Novanto.
Sehari sebelumnya, dalam sidang praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hakim tunggal Kusno menanyakan kepada ahli hukum pidana Universitas Padjadjaran Komariah Emong Sapardjaja tentang mencuatnya perdebatan dalam sidang praperadilan yang menyatakan perkara gugur bila berkas perkara kasus telah dilimpahkan ke pengadilan.
Pertanyaan hakim Kusno tersebut bertujuan mempertegas kaitan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, mengenai kapan saatnya status perkara dalam sidang praperadilan dinyatakan gugur. Dalam kaitan itu, Komariah menjawab secara gamblang bahwa ketentuan mengenai hal itu ialah berlaku pada saat surat dakwaan telah dibacakan.
Bila penjelasan Komariah tersebut dijadikan acuan dalam beracara, pembacaan dakwaan terhadap Novanto di pengadilan tipikor, kemarin, secara substantif mengakhiri perdebatan tentang penegakan hukum dari aspek prosedural. Selama ini, Novanto sebagai salah satu subjek hukum menggunakan haknya sebagai warga negara yang berkedudukan sama di depan hukum untuk mencari keadilan melalui lembaga praperadilan.
Pihak Novanto yang mengajukan praperadilan mempersoalkan prosedur penetapan tersangka oleh KPK, yakni adanya ketentuan yang mengharuskan penetapan tersangka dilakukan di akhir penyidikan. Sementara itu, penetapan Novanto dilakukan di awal penyidikan. Di lain sisi, KPK sebagai lembaga antirasywah yang meyakini adanya dugaan korupsi yang melibatkan Novanto terus melakukan proses penegakan hukum. Kita mafhum apa yang dijalankan KPK sebagai proses penegakan hukum dari aspek material.
Kedua pendekatan peradilan tersebut tentu saja dapat diterima. Kedua proses pembuktian itu pun dijamin sepenuhnya oleh undang-undang. Kedua aktivitas peradilan itu pun masih berlangsung. Bedanya pengadilan tipikor kasus korupsi KTP-E baru dimulai kemarin, sedangkan praperadilan yang diajukan Novanto, hari ini, dijadwalkan memasuki tahap akhir dengan agenda pembacaan putusan.
Kita menghormati seluruh proses yang berlangsung dalam kedua peradilan tersebut. Apa pun putusan yang diambil hakim tunggal praperadilan hari ini wajib kita hormati. Begitu pula bila majelis hakim pengadilan tipikor kelak memutus perkara korupsi KTP-E Novanto. Meskipun tidak selalu berjalan sinergis dan paralel, baik peradilan formal-prosedural maupun peradilan material-substantif merupakan bagian tidak terpisahkan dari hukum positif kita.
Adalah ideal jika kita dapat mempertemukan keduanya. Namun, itulah proses tanpa akhir dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
