DALAM menanggapi penangkapan Dirut PT PAL Indonesia M Firmansyah Arifin oleh KPK pekan lalu, ekonom Lana Setyaningsih berkata, "Dirut perusahaan galangan kapal yang tertangkap tangan oleh KPK itu menurut saya cuma apes saja."
Lana yang juga pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu hendak mengatakan banyak pejabat badan usaha milik negara (BUMN) korup, tetapi mujur belum tertangkap KPK. Membuat semua pejabat korup di BUMN apes menjadi tugas KPK.
BUMN semestinya bekerja mencari keuntungan buat negara yang ujung-ujungnya bisa dinikmati rakyat. Namun, maraknya korupsi di BUMN membuat rakyat tak bisa menikmati keuntungan itu seutuhnya. Pejabat BUMN dan perusahaan penyuap menikmati sebagian keuntungan itu.
Dalam kasus korupsi PT PAL, misalnya, Dirut PT PAL Firmansyah Arifin dan tiga tersangka lainnya diduga menerima commitment fee dari Filipina dalam ekspor dua kapal pesanan negara tersebut. Commitment fee itu semestinya menjadi bagian keuntungan negara, bukan keuntungan pejabat BUMN. Dengan commitment fee itu pula harga kapal bisa jadi lebih rendah daripada seharusnya.
Pola yang sama terjadi dalam kasus korupsi di Garuda Indonesia yang melibatkan mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar. Emir dan perusahaan Rolls-Royce mencuri sebagian keuntungan negara dari transaksi pembelian mesin pesawat yang semestinya dinikmati rakyat.
Meski sebagian, besar keuntungan yang dinikmati pejabat korup di BUMN tak tanggung-tanggung. Duit yang disita KPK dalam perkara korupsi di PT PAL mencapai Rp2 miliar. Mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar, menurut KPK, menerima suap total sekitar Rp40 miliar.
Penyebab korupsi di BUMN tidaklah tunggal. Di lapis pertama penyebabnya ialah pejabat BUMN yang belum selesai dengan dirinya. Oleh karena itu, pola rekrutmen harus dibenahi untuk menghasilkan pejabat berintegritas di BUMN. Jangan ada lagi pejabat BUMN yang direkrut karena pesanan.
Penyebab lain ialah lemahnya pengawasan. Pengawasan ketat bisa mencegah korupsi. Dalam hal ini, BUMN semestinya menerapkan good corporate governance. Kementerian BUMN sesungguhnya telah melakukan upaya pencegahan. Kementerian telah menggandeng KPK serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk membangun zona integritas bebas korupsi di lingkungan perusahaan pelat merah dan Kementerian BUMN.
Beberapa cara dilakukan untuk mencegah praktik korupsi, dari penandatanganan dokumen pakta integritas, penyusunan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN), laporan akuntabilitas kinerja, hingga program pengendalian gratifikasi. Akan tetapi, fakta berbicara, itu semua tak kuasa mencegah korupsi di BUMN.
Bila pengawasan dan pencegahan gagal, penindakan dan penegakan hukum harus bekerja. Penegakan hukum yang keras membuat koruptor apes. Penegakan hukum secara internal sebetulnya sudah dilakukan. Kementerian BUMN, misalnya, kata seorang deputi di Kementerian BUMN, telah menerapkan zero tolerance terhadap pejabat korup di BUMN.
Dalam hal penegakan hukum, Kementerian BUMN juga telah membentuk Tim Antikorupsi BUMN. Tim pada pertengahan tahun lalu mencatat 31 kasus korupsi di tubuh BUMN. Tim menyerahkan sejumlah perkara korupsi tersebut ke KPK.
Namun, penegakan hukum pun ternyata tak mampu mendatangkan efek jera. Itu disebabkan penegakan hukum belum membuat koruptor apes seapes-apesnya.
Koruptor di BUMN yang ketahuan dan tertangkap KPK memang apes. Akan tetapi, dia harus dibikin apes lagi dengan dimiskinkan. Semakin apes koruptor hingga titik seapes-apesnya bila hukuman sosial ditambahkan kepada mereka.
Sayang beribu sayang, pemiskinan dan hukuman sosial buat koruptor sebatas wacana. Itu artinya ikhtiar membuat koruptor seapes-apesnya wacana belaka. Kita tunggu saja siapa pejabat BUMN yang menjadi orang apes berikutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
