Berbisnis tidak jauh berbeda dengan berdialog. Tanpa bahasa yang sama, pembicaraan tidak akan mengalir, tak akan berujung pada kesepakatan. Sekarang, bahasa bisnis dunia ialah kecepatan dan kemudahan proses, termasuk dalam perizinan. Bahasa itu pula yang sedang dikejar Indonesia. Reformasi perizinan digenjot Presiden Joko Widodo sejak awal masa pemerintahan. Hasilnya daya saing Indonesia terbukti melompat.
Dalam peringkat kemudahan berbisnis yang dikeluarkan Bank Dunia, Ease of Doing Business (EoDB) yang dirilis Selasa (25/10), Indonesia naik 15 tingkat dari posisi ke-106 menjadi ke-91. Prestasi Indonesia itu berdasarkan penilaian yang dilakukan dalam satu tahun terakhir dan mencakup parameter kompleks, dari proses memulai usaha, kemudahan memperoleh sambungan listrik, pendaftaran properti, kemudahan memperoleh pinjaman, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas, dan penegakan kontrak.
Peningkatan tahun ini berarti pula konsistensi perbaikan sejak 2014. Untuk tahun tersebut, peringkat Indonesia ialah ke-120 dan naik ke ke-114 pada 2015. Penilaian baru ini juga menunjukkan Indonesia telah melampaui Filipina yang berada di posisi ke-99. Semua ini layaknya sebuah reklame bagus bagi Indonesia untuk investor. Kemudahan perizinan dan proses usaha lainnya akan menjadi daya tarik karena itu merupakan efektivitas modal.
Namun, harus diakui pula bahwa lompatan ini belum lagi cukup. Posisi ke-91 masih terpaut jauh dari target Presiden Jokowi untuk 40 besar. Target itu memang bukan tanpa alasan. Hanya dengan mencapai posisi 40 besar, Indonesia dapat berada di posisi tiga besar ASEAN. Selama ini posisi tiga besar tersebut ditempati Singapura (nomor 2 dunia), Malaysia (23 dunia), dan Thailand (46 dunia).
Bahkan dengan Brunei dan Vietnam, selama ini pun Indonesia masih kalah. Ini tentunya sebuah tamparan mengingat sumber daya alam dan tenaga kerja kita yang jauh berlimpah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Pada kenyataannya, negara-negara yang lebih kecil itu mampu menyediakan dukungan usaha yang signifikan. Thailand, misalnya, mampu menyediakan gas dengan harga yang lebih murah daripada Indonesia.
Kelemahan suplai energi ini memang telah disadari pemerintah. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui infrastruktur energi merupakan satu dari empat kendala investasi yang utama di Indonesia. Kendala lainnya ialah biaya bunga bank yang terbilang tinggi bila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. Untuk mengatasinya, pemerintah akan menekan bunga kredit usaha rakyat (KUR) menjadi 7%.
Kendala berikutnya ialah biaya logistik. Besarnya gap biaya logistik di darat dengan di laut membuat banyak pengusaha malas berinvestasi di luar Pulau Jawa. Kemudian kendala keempat tidak lain dari birokrasi yang marak dengan korupsi dan pungutan liar (pungli). Kendala yang lahir dari sifat tamak itu telah menjadi budaya yang meracuni dari pucuk pimpinan hingga para staf di berbagai lembaga negara.
Itu pula sebabnya kendala itu dapat menjadi yang paling sulit diperbaiki jika tanpa keseriusan seluruh elemen pemerintah. Itulah sebabnya, seperti yang telah dimulai Presiden, kita juga menabuh genderang perang terhadap pungli. Tanpa komitmen dan konsistensi, perang terhadap pungli tidak akan berdampak kuat dan pada akhirnya tidak mampu mendongkrak daya saing menjadi lebih tinggi lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di