Globalisasi akan selalu menguntungkan kecuali bagi negara yang lemah. Begitulah yang diramal banyak ahli ketika era modern membuat batas-batas negara kian longgar.
Ramalan itu memang sulit dibantah di Indonesia. Daya tarik ekonomi, ilmu pengetahuan, hingga teknologi di negara maju menjadi magnet yang membawa pergi putra-putri unggulan.
Namun, besarnya arus emigrasi membuat Indonesia dalam ancaman brain drained. Sebab, bukan isapan jempol, populasi diaspora Indonesia hampir menyamai jumlah penduduk Swedia dan Austria. Selain itu, 48% warga diaspora Indonesia di Amerika Serikat memiliki kualitas di atas sarjana.
Karena itu, jelas kita sepakat dengan Presiden Joko Widodo untuk merangkul diaspora. Kebanggaan terbesar bukanlah hanya melihat jejak anak bangsa di luar negeri, melainkan juga membuat jejak itu sendiri menjadi kemajuan di dalam negeri.
Jujur diakui bahwa selama ini WNI berprestasi yang tersebar di mancanegara kurang dihargai di negeri sendiri. Padahal, di negara lain mereka mendapatkan tempat yang layak.
Karena itulah, patut didukung rencana pemerintah memulangkan para diaspora ke Tanah Air. Dengan pemulangan aset-aset bangsa tersebut, daya saing Indonesia di tengah persaingan global diharapkan bisa meningkat lebih cepat lagi.
Wacana status dwikewarganegaraan yang mengikuti upaya merangkul diaspora itu jelas pilihan bijak. Dwikewarganegaraan, di belahan lain dunia, terbukti sahih mampu merayu agar orang-orang moncer itu kembali pulang. Isu pemberian dwikewarganegaraan makin menggiurkan dengan klaim-klaim akan manfaatnya bagi perekonomian negara.
Studi yang digelar Gugus Tugas Imigrasi dan Kewarganegaraan pada 2014 menyimpulkan pemberlakuan dwikewarganegaraan oleh negara-negara berkembang seperti Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, India, dan Filipina berimbas pada meningkatnya gross national product (GNP) negara-negara tersebut. Begitu juga dengan studi yang dilakukan Universitas Ottawa, dwikewarganegaraan meningkatkan perekonomian dalam sisi peningkatan remitansi.
Harus tegas dikatakan bahwa kerja sama dwikewarganegaraan hanya bisa diarahkan ke negara-negara kantong diaspora dengan syarat yang begitu ketat. Amerika Serikat, misalnya, memiliki serentetan syarat untuk itu. Seseorang bisa kehilangan status kewarganegaraan 'Paman Sam' jika membuat permohonan kewarganegaraan ke negara lain secara sukarela, dengan kebebasan pilihan dan memiliki niat melepaskan kewarganegaraan AS.
Dwikewarganegaraan bukan satu-satunya jalan untuk merangkul diaspora seperti dilakukan negara tetangga Malaysia. Sejak 2001, Malaysia secara aktif berupaya menarik para profesional mereka pulang kampung lewat program yang menawarkan serangkaian kemudahan pajak. Korea Selatan malah memilih cara lebih berani dengan status bebas pajak untuk beberapa jenis keahlian.
Sudah saatnya diaspora dirangkul. Pemberian dwikewarganegaraan dan kecintaan pada bangsa yang menjadi magnet kuat untuk mereka kembali ke Tanah Air.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
