BELUM sebulan menjabat, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mencoba membuat gebrakan dengan mewacanakan sekolah sepanjang hari. Bila dijabarkan lagi, jam sekolah dari tingkat sekolah dasar akan dimulai pukul 07.00 dan berakhir pada pukul 16.00. Muhadjir berpendapat jam sekolah yang lebih panjang akan membuat pelajar lebih banyak mendapatkan pengawasan. Ujungnya berkurang pula kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menyimpang.
Gagasan tersebut, menurut pandangan Muhadjir, sesuai dengan konsep Nawa Cita yang menjadi pegangan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dengan bersekolah sepanjang hari, pelajar juga akan mendapat lebih banyak muatan pendidikan karakter, di samping akademik.
Tanggapan dari berbagai kalangan pun mengalir hingga mencuatkan pro dan kontra. Tidak sedikit yang memandang negatif. Mereka menganggap jam sekolah yang lebih panjang akan membuat siswa kelelahan. Waktu siswa untuk berinteraksi dengan keluarga juga semakin pendek.
Orangtua yang merasa mampu mendidik anak dalam lingkungan keluarga khawatir kebijakan itu akan merampas hak mereka. Hubungan antara anak dan orangtua pun menjadi renggang. Di Jepang dan Korea Selatan, konsep sekolah sepan¬jang hari telah lama diterapkan. Pola itu juga diadopsi sebagian sekolah di Tanah Air yang diakui memiliki kualitas layanan pendidikan di atas rata-rata.
Sebagai kompensasi jam sekolah yang panjang, waktu lima hari sekolah pun dijalankan. Siswa tidak dibebani pekerjaan rumah atau PR sehingga waktu untuk berinteraksi dengan keluarga relatif terjaga. Namun, menerapkan jam sekolah seperti itu tidak gam¬pang. Tiap sekolah mesti menyediakan fasilitas yang komprehensif untuk mengakomodasi minat dan potensi siswa. Demikian pula dengan kesiapan guru.
Syarat itu saja hampir mustahil dipenuhi pemerintah dalam kondisi saat ini. Bayangkan berapa anggaran yang mesti dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan tersebut? Padahal, banyak sekolah yang terpaksa berbagi gedung sekolah. Mereka harus berbagi jam operasional. Kualitas layanan pendidikan antarsekolah pun masih timpang.
Meski mengandung tujuan mulia, gagasan sekolah sepanjang hari bila kelak dipertimbangkan mesti dikaji dengan mendalam. Toh, di tingkat global, kualitas pendidikan tidak selalu berkorelasi positif dengan panjangnya jam sekolah. Negara-negara Skandinavia mampu menempatkan diri di kelompok negara-negara dengan kualitas pendidikan terbaik dunia. Padahal, sekolah sekolah dasar di Finlandia, Denmark, dan Norwegia tidak memberlakukan jam sekolah yang panjang. Negara-negara itu pula yang memiliki indeks kebahagiaan di kelompok lima tertinggi di dunia.
Banyak hal yang lebih perlu dibenahi dalam sistem pendidikan nasional. Sekolah belum memenuhi fungsinya ketika kebutuhan terhadap bimbingan belajar dari lembaga di luar sekolah masih tinggi. Hasil pendidikan pun jauh dari sasaran saat masyarakat tidak segan menyelak antrean atau membuang sampah sembarangan. Pendidikan bukan sekadar mengasah kemampuan akademis, melainkan juga karakter. Tidak kalah penting, anak mesti merasa bahagia ketika bersekolah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di