()

Menimbang Mata Pisau Perdagangan Bebas

29 Oktober 2015 05:36
DALAM kunjungan ke Amerika Serikat yang baru lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan keinginan Indonesia untuk bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP). Awal bulan ini, yakni pada 5 Oktober 2015, kolaborasi perdagangan dari 12 negara yang dipimpin Amerika Serikat tersebut telah menghasilkan pakta perdagangan bebas terbesar di dunia.
 
Dikatakan terbesar karena faktanya total produk domestik bruto (PDB) negara-negara yang terlibat di pakta tersebut mencakup 40% PDB global. Sebuah nilai ekonomi yang sangat menggiurkan bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Malaysia dan Vietnam, yang merupakan rival dagang Indonesia dari kawasan ASEAN, ikut serta. Sekitar 18 ribu pos tarif, mulai produk permesinan, pertanian, perikanan, pertambangan, hingga elektronika, secara bertahap dibebaskan dari tarif impor.
 
Itu membuat sejumlah eksportir nasional ketar-ketir. Dengan tarif bea masuk nol persen, produk serupa dari Malaysia dan Vietnam bisa jauh lebih murah ketika dijual di sesama negara anggota TPP. Vietnam, terutama, sudah dikenal sebagai negara pengekspor hasil industri berbasis upah buruh murah. Dengan kondisi seperti itu, Indonesia bisa terancam semakin kehilangan kesempatan memperbesar ekspor.
 
Perdagangan bebas memang sukar dihindari dalam era lintas batas global seperti sekarang. Proteksi terhadap pasar dan industri dalam negeri akan dibalas dengan perilaku yang sama di negara mitra dagang. Akibatnya, perekonomian sulit berkembang. Dalam bahasa sederhana, bila ingin mengekspor, jangan alergi untuk mengimpor. Selain membuat negara lain enggan membeli, antiimpor akan membuat ongkos pengiriman menjadi mahal. Tengok saja perdagangan antarkawasan di Indonesia sebagai perumpamaan kecil. Kapal sarat muatan berangkat dari Indonesia Barat menuju Indonesia Timur. Ketika kembali, kapal dalam keadaan nyaris kosong. Harga barang menjadi terlalu mahal karena memperhitungkan biaya kirim bolak-balik. Akan tetapi, bukan berarti kita membuta dalam menyepakati semua perjanjian dagang yang disodorkan di meja.
 
Jangan lupakan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-Tiongkok yang justru membuat defisit neraca dagang kita dengan Tiongkok terus membengkak. Produk lokal pun kalah bersaing di kandang sendiri. Bahkan, perdagangan dengan mitra sesama ASEAN pun ikut-ikutan pula berbalik defisit. Karena itu, semua kesepakatan perdagangan bebas mesti dipertimbangkan dengan matang.
 
Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, beserta pelaku industri perlu duduk bersama menelusuri sektor-sektor mana saja yang dipastikan bakal mendapatkan keuntungan. Setidaknya, sektor tersebut harus memiliki daya saing yang bisa diperkuat dari waktu ke waktu. Kita memang tidak bisa berharap mendapatkan surplus dari setiap mitra dagang kita dalam perdagangan bebas.
 
Namun, keseimbangan manfaat perdagangan tetap harus menjadi pegangan. Kalaupun amat terpaksa harus defisit, jangan pula sebesar 'gajah'. Bila manfaat imbang tidak bisa diperoleh, jelas tidak ada gunanya bergabung dalam pakta seperti itu. Sebab, Indonesia hanya akan menjadi pasar. Akan lebih baik bila kita menjajaki kemitraan perdagangan bebas lainnya.
 
Untuk itu, yang diperlukan ialah perpaduan antara kepiawaian bernegosiasi dan penguatan daya saing industri agar perekonomian bangsa ini menjadi semakin besar bukan oleh konsumsi, melainkan oleh kemampuan berproduksi. Tekad mendongkrak produktivitas itu pula yang digaungkan Jokowi. Karena itu, pegang teguh janji tersebut.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase perdagangan bebas

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif