Matinya Harmonisasi Transportasi
Matinya Harmonisasi Transportasi ()

Matinya Harmonisasi Transportasi

23 Maret 2017 07:28
Kegagapan pemerintah mengantisipasi munculnya fenomena transportasi berbasis aplikasi daring atau online berbuntut kesemrawutan. Kelambanan negara menciptakan harmonisasi di antara dua jenis angkutan umum, konvensional dan online, membuat unjuk rasa, ancaman mogok massal, dan bentrokan fisik tak terhindarkan. Jika sudah begini, siapa yang paling dirugikan? Jawabannya jelas, yakni publik.
 
Kerugian yang mesti ditanggung perusahaan angkutan umum, pengembang aplikasi transportasi daring, atau pengemudinya sekalipun tak sebanding dengan kerugian yang mesti didera masyarakat karena kehilangan hak mereka untuk dilayani dan dilindungi. Kegugupan pemerintah sejatinya sudah tampak sejak awal kemunculan
 
transportasi berbasis aplikasi daring di Indonesia. Dengan sistem transportasi umumnya yang masih buruk dan kacau-balau, Indonesia memang spesial. Transportasi berbasis daring seperti menemukan rumahnya di sini. Sistem peredaran angkutan umum di Indonesia yang amat parsial, sangat minim integrasi, menciptakan celah lebar untuk masuknya ojek atau taksi online yang amat mobile.
 
Masyarakat yang selama ini banyak dikecewakan angkutan konvensional, dengan tarifnya, dengan ketidaklayakan kendaraannya, dengan 'sistem' mengetemnya, dan lain-lain, langsung berpaling dan memilih yang berbasis online. Dari sisi masyarakat, hadirnya angkutan online menjadi solusi minimnya kehadiran negara di sektor tersebut. Ironisnya, pemerintah pun mengambil posisi yang sama dengan masyarakat. Pemerintah seolah-olah memandang transportasi daring sebagai solusi yang tiba-tiba muncul menyelamatkan mereka tanpa harus berbuat apa pun. Ada semacam kesadaran diri dari pemerintah bahwa selama ini mereka tidak bisa menyediakan angkutan umum yang layak.
 
Karena itu, entah sengaja atau tidak, mereka seperti membiarkan transportasi daring bertumbuh dengan cepat tanpa ada upaya maksimal untuk mengharmonisasikan dengan angkutan umum konvensional. Pada titik itulah sesungguhnya kegagapan pemerintah bermula, dan itu patut dipersalahkan. Mereka tidak sadar sedang berhadapan dengan teknologi yang membutuhkan kecepatan dan keluwesan luar biasa untuk mengimbanginya.
 
Akibatnya, yang terjadi sekarang, regulasi yang muncul lebih bersifat reaktif, bukan antisipatif. Yang namanya reaktif pasti tak lentur dan kaku. Betul bahwa semua bisnis harus diatur agar kita tidak menjadi negara belantara. Namun, sulit bagi kita untuk mengandalkan aturan yang dibuat atas dasar reaksi dari satu atau dua peristiwa.
 
Termasuk ketika kita bicara revisi Peraturan Menteri Perhubungan No 32 Tahun 2016 yang mengatur tentang taksi berbasis aplikasi daring. Kemenhub menyebut semangat yang mendasari aturan itu ialah menjaga kesetaraan berusaha dan melindungi konsumen.
 
Lalu mengapa, misalnya, regulasi itu malah fokus mengatur soal penentuan tarif, bukan menekankan pada kontrol persaingan usaha yang sehat antara pelaku konvensional dan berbasis aplikasi daring yang lebih komprehensif, serta menjamin hak pengguna jasa?
 
Mungkin belum terlalu terlambat jika pemerintah mau kembali ke titik nol untuk menetapkan regulasi baru yang pas. Regulasi yang mampu mengharmonisasikan dua kutub kepentingan bisnis yang berbeda, tapi tetap menomorsatukan kepentingan publik. Mundur selangkah untuk maju dua-tiga langkah akan jauh lebih baik ketimbang diam di satu titik menunggu redanya kesemrawutan yang tak berkesudahan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase transportasi

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif