KEDEWASAAN dalam berdemokrasi sebuah bangsa bisa diukur antara lain dengan seberapa mampu bangsa itu mengelola persoalan bangsa. Semakin baik mengelola permasalahan, semakin matang pula mereka berdemokrasi.
Jika ukuran itu yang dijadikan patokan, rasanya kita cukup berbangga terhadap demokrasi kita yang belakangan ini menghadapi ujian mahaberat. Saking beratnya ujian itu, eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan menjadi taruhan. Ujian itu ialah kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Kasus yang membelit Ahok sejatinya sederhana. Kasus tersebut murni persoalan hukum, tetapi menjadi pelik karena kemudian kental dengan bau politik lantaran mencuat di saat DKI Jakarta tengah menggelar hajatan pilkada. Apalagi, persoalan menyangkut masalah yang supersensitif, yakni suku, agama, ras, dan antargolongan alias SARA.
Namun, secara umum setidaknya kita berhasil mengelola persoalan besar tersebut dengan baik. Mereka yang menuntut Ahok segera ditindak secara hukum, misalnya, berusaha menyuarakan tuntutan itu dengan cara damai.
Itulah yang ditunjukkan dalam demonstrasi besar-besaran, kemarin. Di Jakarta, ratusan ribu umat Islam menyemut di sekitar Istana Merdeka. Di sejumlah daerah lainnya, puluhan ribu orang turun ke jalan.
Teori psikologi sosial menyebutkan kerumunan massa sangat berpotensi memicu perilaku anarkisme dan antisosial lainnya, terlebih jika kerumunan itu dalam jumlah yang sangat besar. Akan tetapi, massa yang berunjuk rasa kemarin mempertontonkan sebaliknya. Meski sempat diwarnai kericuhan karena ulah sekelompok orang, secara umum mereka berdemo secara tertib dan damai. Kita pun patut mengapresiasi mereka.
Apresiasi patut pula kita alamatkan kepada aparat keamanan yang mengedepankan pendekatan persuasif dalam mengawal demonstrasi sehingga secara keseluruhan berlangsung kondusif. Berkat kepatuhan pedemo pada aturan dan kerja keras aparat untuk memastikan aturan dipatuhi, Ibu Kota tetap aman. Kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan dalam skala besar tak menjadi kenyataan.
Kita berharap, kalau pengunjuk rasa masih akan turun ke jalan, demonstrasi yang lebih damai yang harus dilakukan. Akan tetapi, kita lebih berharap demonstrasi tak lagi terjadi. Sedamai, setertib, dan sekondusif apa pun, demonstrasi tetap mengganggu masyarakat, apalagi jika massa yang berperan serta sampai ratusan ribu orang.
Aspirasi dan tuntutan umat agar Ahok ditindak secara hukum sudah didengar pemerintah. Polri juga sudah memproses dan menargetkan perkara tersebut selesai dalam dua minggu mendatang.
Kini, yang dibutuhkan ialah bagaimana kita mengawal penanganan kasus itu agar berjalan di rel yang benar. Tidak harus dengan turun ke jalan. Untuk memastikan penegak hukum tidak 'masuk angin', hal itu bisa dilakukan lewat jalur resmi.
Saatnya kita menyandarkan kepercayaan di pundak penegak hukum karena kasus Ahok ialah perkara hukum yang mutlak diselesaikan semata di jalur hukum. Hanya di tangan penegak hukum yang independen dan profesional bisa dipastikan bahwa Ahok tak dilindungi atau sebaliknya, tak dizalimi, oleh siapa pun. Setelah unjuk rasa, giliran hukum yang bicara. Hanya hukum, bukan kekuatan lain, yang tepat digunakan untuk menuntaskan perkara Ahok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
