Aparat gabungan TNI dan Polri akhirnya berhasil membebaskan para sandera di Kampung Banti dan Kimbely, Distrik Tembagapura, Papua. Total sandera yang dievakuasi sebanyak 347 orang yang merupakan warga pendatang dan masyarakat setempat.
Apresiasi layak disematkan kepada jajaran Polda Papua yang tiada henti menempuh segala cara untuk membebaskan para sandera, dari upaya persuasif hingga operasi pembebasan. Kita juga angkat topi kepada TNI yang sejak penyanderaan terjadi langsung bersiaga penuh jika sewaktu-waktu dibutuhkan dalam operasi pembebasan.
Operasi pembebasan itu layak diapresiasi karena tak seorang pun warga, juga anggota pasukan gabungan Polri-TNI, menjadi korban. Pasukan gabungan sungguh-sungguh mengutamakan keselamatan warga negara. Operasi pembebasan itu juga layak diacungi jempol karena merupakan operasi pasukan gabungan Polri-TNI. Kedua institusi bersatu padu melindungi segenap warga negara dan tumpah darah Indonesia.
Tidak boleh ada klaim bahwa Polri atau TNI yang paling berjasa dalam operasi pembebasan karena kedua institusi pada dasarnya menjalankan fungsi dan porsi masing-masing. Tidak hanya membebaskan sandera, aparat juga berhasil memukul mundur kelompok penyandera yang beranggotakan 21 orang yang sudah masuk daftar pencarian orang (DPO) Polda Papua. Kelompok itu juga telah berulang kali diduga terlibat sejumlah aksi teror di Tembagapura, Mimika.
Pembebasan ini tentu melegakan bagi bangsa ini. Pasalnya penyanderaan di mana pun menjadi cerita dramatis, apalagi terjadi di Papua, yang selama ini masih terdeteksi benih-benih gerakan kelompok bersenjata dan separatisme.
Dalam jangka pendek, tentu para korban penyanderaan ini butuh pemulihan. Apa pun itu, penyanderaan akan menyebabkan trauma yang luar biasa pada korban, terlebih anak-anak. Para korban tidak hanya menghadapi persoalan kesehatan fisik, tetapi juga psikis. Seusai penyanderaan, negara perlu memikirkan solusi jangka panjang agar kekerasan di Papua tidak terulang. Karena itu, kita mesti memahami akar persoalan di Papua.
Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, motif penyanderaan tersebut ialah perkara ekonomi, yakni menuntut pelibatan dalam tambang emas serta permintaan saham Freeport, plus diperkuat semangat separatisme. Itu artinya ada akar ekonomi dan politik yang menumbuhkan tindakan penyanderaan dan kekerasan di Papua.
Untuk memotong akar ekonomi, pendekatan kesejahteraan menjadi solusi. Kekayaan alamnya melimpah, tetapi kesejahteraan dan keadilan ekonomi enggan singgah di tanah Papua. Semangat pemerintahan Jokowi-JK untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan semestinya disongsong bersama.
Presiden Jokowi telah menerbitkan kebijakan bahan bakar minyak satu harga, tak terkecuali untuk Papua. Pemerintah juga menggenjot pembangunan infrastruktur di sana. Akselerasi pemerataan pembangunan oleh Presiden Jokowi, termasuk di Papua, merupakan upaya menghadirkan keadilan dari Sabang sampai Merauke.
Paralel dengan pendekatan kesejahteraan, kita mesti juga menerapkan pendekatan politik. Beberapa kali kita katakan model Aceh dengan modifikasi yang disesuaikan dengan konteks Papua, siapa tahu, bisa diterapkan di Papua. Pendekatan politik akan mengubah perjuangan bersenjata yang penuh kekerasan menjadi perjuangan politik yang sarat dengan kedamaian. Kita semua menginginkan kedamaian permanen di Papua.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
