Di tengah perekonomian global yang masih melambat dalam tiga tahun terakhir, Indonesia masih boleh bernapas lega. Sejumlah indikator perekonomian kita, baik makro maupun mikro, memang turun, tetapi tidak sampai rontok. Ekonomi kita pun masih tumbuh hampir 5% di paruh pertama tahun ini.
Akan tetapi, jika para pemegang kebijakan di Republik ini puas dengan capaian 'boleh turun tapi tidak terlalu' tersebut, bukan tidak mungkin negeri ini bisa terempas. Bila itu yang terjadi, kita menjadi bagian dari negara yang tak pandai mengenali tanda-tanda sekaligus gagal dalam merespons situasi.
Salah satu bentuk kesigapan mengatasi efek beruntun perlambatan ekonomi global ialah terus menjalin aliansi strategis dengan komunitas internasional. Indonesia mesti giat mempererat `tali silaturahim' perekonomian global demi bersama-sama mengatasi keadaan.
Apalagi, peluang tersebut masih sangat terbuka mengingat kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintahan saat ini relatif tinggi. Itu dibuktikan dengan dipercayanya Indonesia sebagai tuan rumah berbagai perhelatan internasional.
Karena itulah, pertemuan World Islamic Economic Forum (WIEF) yang digelar di Jakarta dalam tiga hari terakhir menjadi titik pijak amat penting bagi Indonesia dan komunitas negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam untuk mempererat aliansi strategis itu. Data menunjukkan potensi negara yang mengikuti WIEF amat besar.
Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 2 miliar jiwa, komunitas muslim global jelas merupakan salah satu raksasa ekonomi yang amat strategis. Belum lagi kondisi ekonomi mereka pada 2014/2015 tumbuh hampir dua kali lipat.
Kondisi tersebut makin diperkuat banyaknya pengusaha muslim yang kian aktif sebagai investor dan pro dusen di bidang manufaktur, perbankan, perdagangan, juga penyuplai beragam kebutuhan. Konsumsi negara muslim pun diprediksi mencapai US$2,6 triliun dalam empat tahun mendatang, atau hampir seperempat konsumsi dunia.
Berbagai peluang dan kemungkinan tersebut tidak cukup menjadi basis data di atas kertas. Ia mesti berwujud aksi dan langkah nyata yang praktis, terstruktur, sistematis, dan masif di seluruh negara yang berhimpun dalam WIEF tersebut.
Karena itu, segala perangkat menuju ke arah itu harus dimatangkan. Bagi Indonesia, peta jalan arsitektur keuangan Islam mesti diarahkan demi menjemput 'kue' penting di kalangan negara muslim.
Termasuk yang harus segera dibenahi ialah posisi Komite Nasional Keuangan Syariah yang penting untuk dirumuskan, apakah berada di bawah menteri, wakil presiden, atau badan seperti Otoritas Jasa Keuangan. Rupa-rupa penataan tersebut mesti jelas rentang waktunya agar kita tidak kehilangan momentum.
Itu disebabkan fakta menunjukkan, meski potensi perekonomian syariah dunia terus meningkat dan organisasi perekonomian syariah juga terus bertumbuhan, dampak serta kontribusinya terhadap perekonomian nasional belum signifikan. Itu sama saja dengan kita melihat kue besar yang sudah di atas meja, tapi kita tidak bisa menyentuhnya akibat jalan menuju kue tersebut teramat kecil dan berliku.
Pertemuan WIEF yang sudah kali kedua digelar di Indonesia itu mestinya melecut para pemangku kepentingan di negeri ini untuk segera bangkit dan bergerak secara aktif menjalankan aliansi strategis tersebut dalam tataran praksis.Peluang sudah terlalu lama tersedia di depan mata, tetapi kita masih kerap asyik berwacana. Kini saatnya melaksanakan kata-kata.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
