Menyelamatkan Hak Pilih Warga
Menyelamatkan Hak Pilih Warga ()

Menyelamatkan Hak Pilih Warga

13 September 2016 06:18
DIPILIH dan memilih dalam pemilihan umum merupakan hak dasar setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Hak dasar itu mestinya tidak bisa dikurangi apalagi dihilangkan karena persoalan administrasi kependudukan semata.
 
Administrasi kependudukan di negeri ini sesungguhnya masih amburadul. Program kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-E tak kunjung rampung meskipun telah berjalan hampir lima tahun. Jujur dikatakan bahwa pengadaan KTP-E bermasalah, sangat bermasalah.
 
Hingga kini, masih banyak warga mengantre untuk merekam data kependudukan dan lebih banyak warga yang sudah merekam data, tetapi belum memperoleh KTP elektronik. Karena itulah, mengaitkan penggunaan hak pilih dengan KTP-E tidaklah relevan untuk saat ini.
 
Celakanya, meski tidak relevan, DPR dan pemerintah tetap saja ngotot untuk mengaitkan hak pilih dengan KTP-E. Rapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri, awal bulan ini, menghasilkan aturan baru, yakni warga yang sudah memiliki hak pilih baru bisa ikut memilih jika sudah memiliki KTP-E atau melakukan perekaman data kependudukan. Jika kesepakatan rapat di Komisi II itu dilaksanakan secara konsisten, jutaan warga akan kehilangan hak pilih. Sejauh ini, masih terdapat sekitar 5 juta warga yang berhak memilih di 101 daerah yang akan menggelar pilkada pada 2017 belum memiliki KTP-E. Mereka itulah yang berpotensi kehilangan hak pilih akibat persoalan administrasi kependudukan.
 
Kehilangan hak pilih karena masalah administrasi terkait dengan KTP-E dapat memicu masalah yang lebih besar lagi, yaitu pemerintah tidak mampu menjamin pemenuhan hak dasar warga. Dengan perkataan lain, negara gagal memenuhi hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilih mereka.
 
Ada dua jalan keluar yang bisa ditawarkan. Pertama, Kementerian Dalam Negeri dan jajaran mereka di daerah bekerja lebih keras lagi untuk mempercepat penyelesaian perekaman data kependudukan. Akan tetapi, mengharapkan kementerian bekerja lebih keras lagi sama saja merindukan memetik bintang. Kita pantas untuk pesimistis karena proyek KTP-E yang berbiaya Rp5,8 triliun itu sudah bermasalah sejak diluncurkan pada 2011.
 
Kedua, ini lebih realistis, Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri tidak memaksakan KTP elektronik sebagai satu-satunya bukti untuk dapat memberikan suara dalam pilkada serentak 2017. Tugas ini ada di pundak KPU. Tugas utama KPU ialah melindungi hak konstitusional warga dengan memverifikasi pemilih melalui mekanisme pemutakhiran data pemilih tetap.
 
Mestinya KPU bekerja sama dengan dinas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) kabupaten/kota terkait dengan status calon pemilih yang belum punya KTP-E. Sekalipun pemilih belum memiliki KTP-E, tetapi yang bersangkutan tercatat di dukcapil, ia diperbolehkan menggunakan hak pilih.
 
Harus tegas dikatakan bahwa Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri terlalu bersemangat, bahkan kelewat semangat, mengaitkan hak pilih dan KTP-E dalam pilkada serentak 2017.
 
Bukankah Pasal 200A ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dengan tegas menyatakan penggunaan KTP elektronik sebagai syarat pencalonan dan memilih terhitung Januari 2019? Mengapa tidak sabar menunggu hingga 2019?

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase pemilu

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif