TIDAK cuma narkoba, terorisme, dan korupsi, bangsa ini kini menghadapi ancaman yang sungguh luar biasa membahayakan, yakni ujaran kebencian. Karena itu, ketika pintu gerbang untuk memberangus kejahatan tersebut telah terbuka, pantang bagi penegak hukum untuk tidak segera menuntaskannya.
Ujaran kebencian dengan segala bentuknya telah menjelma sebagai virus ganas yang berbiak liar dan menjangkiti sebagian anak bangsa untuk bermusuhan. Bahkan, tak berlebihan jika kita mengibaratkan ujaran kebencian sebagai kanker stadium empat yang siap menggerogoti tiang-tiang persatuan.
Yang lebih membahayakan, ujaran kebencian tak cuma memangsa akal sehat orang per orang, tetapi juga telah menjadi komoditas menguntungkan bagi orang-orang yang tak berakal. Ia barang dagangan bagi mereka dengan jiwa yang disesaki libido permusuhan dan dipenuhi nafsu agar bangsa ini pecah berantakan.
Lebih celaka lagi, sebagai barang jualan, ujaran kebencian tak sepi peminat. Sama halnya penjual, sang pembeli pun tak sungkan menggadaikan moral dan akal sehat, yang penting kepentingan pribadi ataupun kelompok terpenuhi. Mereka tak lagi peduli perilaku busuk itu mengancam persatuan.
Terbongkarnya sindikat penjual ujaran kebencian, isu SARA, dan fitnah bernama Saracen mengonfirmasi situasi yang membahayakan itu. Jelas sudah bahwa maraknya ujaran kebencian utamanya di panggung media sosial tak cuma disebabkan kemunduran moral individu, tetapi juga dikreasi sedemikian rupa oleh mereka yang berhati angkara.
Kita mengapresiasi keberhasilan Polri dalam mengungkap jaringan Saracen. Sayangnya, meski hal itu sudah hampir sebulan berselang, publik belum juga mendapatkan gambaran terang benderang perihal sindikat tersebut.
Padahal, dugaan demi dugaan soal sepak terjang Saracen yang dibeberkan polisi begitu bombastis. Penyidik Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, misalnya, pernah mengutarakan ada 800 ribu akun Facebook yang terkait dengan sindikat itu.
Diungkapkan pula bahwa Saracen dibentuk tak semata untuk mendulang uang dari bisnis ujaran kebencian, tetapi juga didasari motif politik. Selanjutnya, Saracen disebut dipersiapkan untuk Pemilu 2019.
Termutakhir, Polri mengatakan pengguna jasa Saracen yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Asma Dewi, adalah simpatisan partai politik. Jika benar semua dugaan tersebut, Saracen jelas bukan sindikat biasa.
Logikanya, pasti ada kekuatan besar yang membuat mereka ada dan merajalela. Amat kecil kemungkinan Saracen bisa eksis hanya karena sejumlah orang yang telah ditahan. Kewajiban bagi Polri agar secepatnya membuat kasus Saracen terang benderang.
Menemukan dan menjerat secara hukum mereka yang berada di balik Saracen merupakan keharusan karena dari situlah produktivitas ujaran kebencian bisa ditekan. Menjerat secara hukum para pengguna jasa Saracen merupakan keniscayaan karena dari situlah rantai bisnis ujaran kebencian bisa dipangkas.
Kita yakin Polri mampu menuntaskan kasus Saracen setuntas-tuntasnya dengan cepat dan tepat tanpa perlu berlama-lama. Akan sia-sia jika kepolisian hanya bisa mengusut perkara itu di permukaan tanpa kedalaman, sedangkan kekuatan besar di baliknya tetap bebas melenggang.
Kasus Saracen ialah pertaruhan bagi Polri apakah mereka memang layak diandalkan untuk membasmi ujaran kebencian oleh siapa pun dan latar belakang apa pun, atau justru sebaliknya. Rakyat butuh bukti secepatnya bahwa perkara Saracen diungkap bukan sekadar untuk membuat kehebohan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
