SKB teregistrasi dengan Nomor 281 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 642 Tahun 2020, Nomor 4 Tahun 2020, Nomor 4 tahun 2020 Tentang Hari libur Nasional dan Cuti Bersama tahun 2021.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad sepakat dengan kebijakan pemotongan cuti bersama dari tujuh hari menjadi hanya dua hari. Menurutnya, pemotongan cuti ini sebagai salah satu upaya mencegah melonjaknya kasus penularan covid-19.
Berkaca pada libur panjang di hari besar tahun lalu, kata dia, terbaca pergerakan masyarakat berdampak pada melonjaknya kasus positif covid-19. Dengan pemotongan cuti libur bersama maka akan membatasi pergerakkan orang.
"Berdasarkan pengalaman libur panjang itu meningkatkan kasus secara signifikan," kata Riris mengutip siaran pers UGM Kamis, 25 Februari 2021.
Baca: Seberapa Penting S2 Bagi Mahasiswa? Simak Penjelasan Direktur Pascasarjana ITS
Menurut Riris, letak permasalahan sesungguhnya bukan pada memotong atau tidak libur cuti bersama, melainkan pada persepsi masyarakat terhadap cuti itu sendiri. Ia menilai banyak masyarakat tidak mengerti bila cuti itu bukan berarti berhenti dari mencegah transmisi covid-19.
Bahkan, sebagian berpendapat dengan cuti boleh melakukan mobilitas lebih bebas dan bisa melakukan apa saja, seperti berkumpul-kumpul dalam kerumunan. Padahal, yang harus dipahami cuti itu berarti cuti dari bekerja, semisal yang bekerja dari rumah maka cuti itu tidak bekerja tetapi kemudian mengerjakan yang lain seperti hobi dan lain-lain di rumah.
"Kalau pun kemudian mau berwisata mestinya ya mencari tempat-tempat yang tidak besar kerumunannya atau tempat terbuka yang tidak besar kerumunannya. Tetapi sebaiknya tidak harus melakukan berkumpul, mengunjungi satu sama lain dan seterusnya," ungkapnya.
Riris berpendapat masalahnya lebih ke mobilitas, karena cuti bersama itu meningkatkan mobilitas yang sangat signifikan. Biasanya, cuti menimbulkan kecenderungan berkumpul, bertemu orang dan perhatian terhadap protokol kesehatan menjadi turun serta tidak konsisten.
"Sama juga ketika orang melakukan olahraga bersepeda bersama, bersepedanya tidak masalah tapi begitu berhenti di suatu tempat, berkumpul, ngobrol itu yang menjadi masalah," paparnya.
Menurutnya, libur membuat kecenderungan protokol kesehatan menjadi lebih sulit dilakukan, dan bila kemungkinan memperpanjang waktu liburan maka akan memperpanjang kesulitan pula. Meski telah ada kebijakan pemangkasan masa libur, hal tersebut tidak menjamin mampu menekan angka penularan covid-19.
Baca: Ahli Gizi Unpad Bagikan Cara Efektif Turunkan Kolesterol
Satu-satunya yang bisa menjamin menurunkan angka penularan, kata dia, jika semua pihak bisa memastikan bahwa masyarakat tidak bergerak melakukan mobilitas. Misalnya, pemerintah menemukan cara untuk memaksa orang tidak bergerak maka angka penularan covid-19 dijamin akan mengalami penurunan.
"Jadi, jaminannya disitu bukan pada kebijakan. Kebijakan itu tidak bisa memberikan jaminan angka penularan akan bisa ditekan," ucap dia.
Ia menekankan, peningkatan kasus covid-19 sangat tergantung dari dinamika interaksi sosial di sebuah populasi. Kasus-kasus di Jakarta dengan di Yogyakarta dan di Kulon Progo, menurut dia, akan jauh berbeda.
"Jadi, jumlah populasi penduduk, densitasnya, pola mobilitas, kepatuhan terhadap protokol, kemudian apakah banyak aktivitas di dalam ruangan atau tidak itu akan sangat berpengaruh," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News